7 Contoh Cerpen Pendek beserta Unsur Intrinsik dan Ekstrinsiknya Lengkap

7 Contoh Cerpen Pendek beserta Unsur Intrinsik dan Ekstrinsiknya Lengkap – Sebagai salah satu bentuk dari karya sastra, cerpen juga memiliki unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Keduanya pasti ada dalam sebuah cerpen sebagai ciri-ciri dari sebuah karya sastra tulis.

Sudah tahu apa itu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik sebuah cerpen? Yuk, belajar bersama dengan membaca artikel contoh cerpen pendek beserta unsur intrinsik dan ekstrinsiknya lengkap ini! 📖😊✨

Ini Contoh Cerpen Pendek beserta Unsur Intrinsik dan Ekstrinsiknya

Pexels/Dominika Roseclay

Berikut ini cerpen berjudul Haji Goni yang menjadi contoh cerpen pendek beserta unsur intrinsik dan ekstrinsiknya yang akan dibahas di bagian selanjutnya:

1. Haji Goni

Berikut ini contoh cerpen pendek beserta unsur intrinsik dan ekstrinsiknya.

Haji Goni marah-marah lagi. Kali ini, seorang pemuda tertikam kalimatnya yang tajam. Matanya jalang. Urat-uratnya muncul di sela-sela pelipisnya yang basah karena keringat.

“Lu kalo kencing jangan sembarangan! Ini bukan WC umum!”

“Maaf, Aji. Tadi saya kebelet,” Dani menunduk. Jari-jarinya basah.

“Elu tahu, ini kamar mandi fasilitas buat orang yang tinggal di kontrakan gue. Bukan buat elu!”

Haji Goni di usianya yang menginjak hampir kepala tujuh semakin menjadi-jadi saja. Lima tahun menduda dengan anak-anak yang juga sudah masing-masing mandiri membuatnya jadi kesepian dan pemarah. Itulah asumsi warga setempat.

Sementara Dani merupakan pemuda berumur dua puluh lima tahun asal Purwodadi yang sedang merantau ke Jakarta. Ia baru tinggal di RT 6 ini tidak lebih dari dua bulan lamanya. Adalah wajar bagi Ia tak mengenali watak dari Haji Goni. Masuk akal bila Ia tanpa ada rasa takut langsung nyelonong memakai toilet di kontrakan milik Haji Goni. Kenalah dia.

Setiap harinya selalu ada saja yang bisa membuat Haji Goni emosi. Kalau kumat tak pandang bulu. Orang dewasa sampai anak-anak yang main di dekat rumah atau pun kontrakannya pasti kena. Penduduk RT 6 pun jadi was-was tiap kali melewati area milik Haji Goni.

Padahal dulu saat masih muda ia terkenal sebagai orang yang begitu dikagumi dan disegani di kampung ini. Bukan karena harta dan gelar hajinya namun karena memang sifat dan sikapnya yang patut menjadi acuan semua orang.

Kala itu Haji Goni rajin memimpin kerja bakti di lingkungannya. Orang-orang pun secara sukarela mau mengikuti arahannya. Selain memimpin, tak lupa sekedar makanan kecil untuk ngopi mereka yang bekerja pasti disajikan oleh orang dari rumahnya.

Ia mau mengerjakan semua itu meskipun Ia tidak menjabat apa-apa di lingkungan tempat tinggalnya. Tidak harus memiliki jabatan untuk bisa memimpin, katanya. Bukan tidak pernah pula warga menunjuknya untuk jadi ketua RT saja. Tapi Haji Goni selalu menolak. Alasannya satu, khawatir tidak amanah.

Kalau musim Agustusan, Haji Goni rela tanah lapangannya yang luas menjadi arena untuk berbagai kegiatan. Yang paling sering adalah untuk panjat pinang. Kadang karena fisiknya yang masih kuat saat itu, Ia juga ikut manjat untuk meramaikan suasana.

Selain tanah lapangnya, empangnya juga menjadi salah satu arena buat lomba gebuk bantal. Setelah air empangnya keruh, warga setempat pun diperbolehkan mengambil ikannya yang mangap-mangap karena mabuk. Sungguh dermawan memang Haji Goni pada masa itu.

Perubahannya menjadi pribadi yang seperti sekarang, sensitif, gampang marah, dan baperan bukan tanpa alasan. Ia merupakan penduduk asli dari tempat tersebut. Dari nenek buyutnya pun sudah menempati tanah yang sama berpuluh-puluh tahun. 

Hingga suatu masa tibalah pembangunan di Ibukota merajalela. Gedung-gedung mulai berlomba siapa yang paling tinggi untuk bisa menyentuh awan. Lahan-lahan kosong mulai dibersihkan untuk pembangunan yang marak itu. Lahan milik Haji Goni pun menjadi salah satu targetnya.

Pernah beberapa orang perwakilan dari perusahaan dan pemerintahan setempat mendatanginya dan mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali caci maki.

“Kagak bakalan gua kasih. Dari nenek buyut gue semuanya udah tinggal dan hidup di sini dari dulu. Kagak, nggak mau gua. Gua kagak bisa dibego-begoin.”

Orang-orang itu pun pergi dengan tangan hampa. Lembaran surat tanpa tandatangan Haji Goni terpaksa dibawa lagi ke kantor.

Kebanyakan sanak saudaranya yang juga memiliki tanah luas kalap dengan penawaran tinggi dari para kontraktor. Tak pikir panjang mereka menjual tanah warisan dari orang tua. Bahkan ada pula yang tega menjual rumah yang biasa ditinggali dan lebih memilih pindah ke pinggiran pun ada pula yang jahanam menjual aset orang tua demi uang yang gampang raib untuk belanja ini-itu, pergi kesana-kesini.

Saat banyak lahan di kampung-kampung sebelah jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan, Haji Goni keukeuh dengan lahannya. Ia jadi lebih sering mengurung diri di rumah karena tidak tahan melihat langit yang dulu begitu biru nan elok, kini terhalang pencakar langit bak raksasa yang siap menghancurkan rumah-rumah kecil di sekitarnya.

Ketakutannya cukup beralasan dan bukan karena alasan egois akan hilangnya sebuah tempat bersejarah bagi perjalanan hidupnya. Lebih dari itu. Selalu lebih dari itu. Ia berpikiran dan mengkhawatirkan akan di mana nanti anak-anak kecil bermain. 

“Elu tahu kagak itu lapangan futsal jadi banyak karena apa? Karena udah kagak ada lapangan yang gede, kagak ada lagi tempat buat bermain buat anak-cucu kite pada kalau elu jual-jualin!” 

Amarahnya meledak kala itu. Tidak tahan melihat warga yang begitu berpikiran pendek dengan mudahnya bisa melepaskan tanah kelahirannya sendiri.

Dengan semua perubahan di lingkungannya tersebut wajar saja bila ia menjadi amat protektif dengan apa yang dimilikinya sekarang. Kekesalannya pada warga lain yang tak mengerti apa yang mereka hadapi membuatnya berubah dan memandang sinis pada semua orang. Betapa piciknya orang-orang ini saat diiming-imingi uang.

Alasan Haji Goni mungkin hanyalah takut kehilangan tanah kelahiran dan takut anak-cucunya kehilangan tempat untuk bermain. Namun ada alasan yang lebih luas dari itu. Pembangunan pasti mengorbankan banyak hal. Lahan yang dipakai bisa saja tadinya merupakan tanah hunian warga. Atau bila pun memang tadinya kosong, bisa saja merupakan tanah resapan hujan untuk mencegah banjir. Ataupun lahan dengan banyak pepohonan sebagai tempat makhluk hidup lain hidup. Keseimbanganlah yang luput dari mata hati mereka yang berdasi di gedung-gedung itu. Tunggu, apa mereka punya hati?

Itulah contoh cerpen pendek beserta unsur intrinsik dan ekstrinsiknya yang dibahas di bagian berikutnya!

Unsur Intrinsik Cerpen Haji Goni

Berikut ini unsur intrinsik dari cerpen Haji Goni:

  1. Tema: Konflik lahan di perkotaan
  2. Tokoh dan penokohan: Haji Goni, karakter yang kuat dalam mempertahankan tanah warisan leluhurnya
  3. Latar: Pinggiran kota, siang hari, masa dimana terdapat banyak penggusuran tanah dan penggantian fungsi lahan dari tempat penduduk menjadi perkantoran
  4. Alur dan plot: maju
  5. Sudut pandang: sudut pandang orang ketiga
  6. Amanat: pertumbuhan perekonomian harus dibatasi dan berprikemanusiaan
  7. Gaya bahasa: formal dan santai

Unsur Ekstrinsik Cerpen Haji Goni

Berikut ini unsur ekstrinsik dari cerpen Haji Goni:

  1. Latar belakang penulis: penulis tinggal di perkotaan saat cerpen ini ditulis
  2. Latar belakang masyarakat: masyarakat pinggiran ibukota yang terpinggirkan
  3. Nilai dalam cerpen: pentingnya menjaga tanah peninggalan leluhur
  4. Sikap pengarang: kritis terhadap pembangunan yang menjalar kemana-mana
  5. Psikologi pengarang dan pembaca: psikologi pengarang tenang namun banyak pertanyaan
  6. Keadaan lingkungan pengarang: memprihatinkan dengan pembangunan yang tak terbatas

2. Aroma Kantin yang Hilang

Kantin SMP Harapan Bangsa selalu menjadi tempat favoritku. Aroma nasi goreng, mie ayam, dan kue basah menguar ke lorong-lorong, membuat siapa pun yang lewat tergoda. Setiap jam istirahat, aku dan teman-temanku selalu berkumpul di sana, saling bertukar cerita tentang pelajaran, guru, hingga kisah lucu teman sekelas.

Namun suatu hari, kepala sekolah mengumumkan bahwa kantin akan ditutup sementara karena renovasi besar. Kami semua terkejut. Kantin bukan sekadar tempat membeli makanan, tetapi juga tempat kami bersosialisasi. Hari-hari berikutnya terasa hampa. Kami terpaksa makan di kelas, tanpa aroma harum makanan dan tanpa tawa teman-teman dari meja lain.

Aku merasa perlu melakukan sesuatu. Bersama teman-teman, kami menemui pengelola sekolah, meminta agar renovasi dilakukan secara bertahap dan kantin tetap bisa dibuka sebagian. Kami menulis surat, menyertakan alasan mengapa kantin penting, tidak hanya untuk perut tetapi juga untuk kebersamaan dan komunikasi antar siswa.

Hari demi hari, perjuangan itu berat. Beberapa teman mulai menyerah, merasa tidak ada gunanya berjuang untuk kantin sekolah. Tapi aku terus memotivasi mereka, mengatakan bahwa suara kami penting dan perubahan bisa terjadi jika kita bersatu.

Akhirnya, kepala sekolah setuju. Renovasi dilakukan secara bertahap, kantin tetap buka sebagian, dan aroma makanan kembali memenuhi lorong-lorong. Tawa kami pun kembali terdengar. Pengalaman itu mengajarkanku bahwa perjuangan meski tampak kecil bisa berdampak besar, bahwa persatuan membuat suara didengar, dan bahwa setiap ruang memiliki nilai yang lebih dari sekadar fungsi fisiknya.

Sejak saat itu, aku lebih menghargai hal-hal sederhana: secangkir kopi panas, sepiring nasi goreng, dan teman-teman yang duduk di sebelahmu sambil bercerita. Kantin bukan hanya tempat makan, tetapi tempat membangun kenangan dan persahabatan yang tak ternilai harganya.

Unsur Intrinsik

  • Tema: Perjuangan mempertahankan ruang sosial dan kebersamaan
  • Tokoh: Aku, teman-teman, kepala sekolah
  • Latar: Kantin SMP Harapan Bangsa, pagi hingga siang
  • Alur: Maju
  • Sudut pandang: Orang pertama
  • Amanat: Persatuan dan keberanian memperjuangkan hak kecil bisa memberi dampak besar
  • Gaya bahasa: Naratif, deskriptif, emosional

Unsur Ekstrinsik

  • Latar belakang penulis: Pernah aktif di lingkungan sekolah
  • Latar masyarakat: Sekolah menengah dengan fasilitas sosial yang penting bagi siswa
  • Nilai: Persahabatan, kepedulian, keberanian
  • Sikap pengarang: Menghargai pengalaman sosial di sekolah
  • Psikologi pengarang dan pembaca: Menumbuhkan empati, kesadaran sosial
  • Keadaan lingkungan pengarang: Lingkungan sekolah dengan fasilitas terbatas dan perubahan

3. Sepeda Merahku yang Hilang

Sepeda merah itu adalah harta paling berharga bagiku. Aku mendapatkannya dari ayahku saat ulang tahunku yang ke-12. Setiap sore aku mengayuh sepeda itu keliling lingkungan, menantang teman-teman balapan, dan menikmati kebebasan yang rasanya tak bisa tergantikan.

Suatu hari, ketika aku sedang mengikuti lomba sepeda mini di lapangan dekat rumah, sepeda merahku hilang. Aku panik. Bagaimana mungkin benda yang paling kusayangi tiba-tiba lenyap begitu saja? Aku mencari di mana-mana, bertanya pada tetangga, bahkan menelusuri jalanan hingga ke gang-gang sempit, tapi tak juga menemukannya.

Kecewa dan marah bercampur menjadi satu. Aku duduk di pinggir lapangan sambil menahan air mata. Fikri, sahabatku, duduk di sampingku. “Santai, bro. Kita cari bareng besok. Jangan terlalu sedih sekarang,” katanya menenangkan.

Keesokan harinya, aku dan Fikri berkeliling lingkungan lagi. Kami bertanya kepada warga, menelusuri setiap sudut rumah kosong, hingga akhirnya seorang tetangga menunjuk ke sebuah rumah yang sedang direnovasi. “Sepertinya sepeda itu ada di sana. Seorang tukang melihatnya masuk ke halaman mereka kemarin,” ujarnya.

Dengan hati berdebar, aku mendekati rumah itu. Pemilik rumah awalnya ragu, tapi setelah aku menjelaskan bahwa sepeda itu milikku dan menampilkan tanda unik di stangnya, mereka akhirnya mengizinkanku mengambilnya kembali. Rasa lega dan bahagia menyeruak. Sepeda merahku kembali di tanganku.

Pengalaman itu mengajarkanku banyak hal. Bahwa kehilangan bisa datang tiba-tiba, tetapi kesabaran dan ketekunan dalam mencari solusi akan membuahkan hasil. Persahabatan, seperti yang ditunjukkan Fikri, adalah salah satu kekuatan terbesar yang bisa diandalkan ketika menghadapi masalah.

Sejak hari itu, aku menjaga sepeda merahku lebih hati-hati. Aku juga belajar menghargai bantuan teman, tetangga, dan semua orang yang peduli. Sepeda merah itu bukan sekadar alat transportasi atau mainan, melainkan simbol perjuangan, kesabaran, dan kebahagiaan kecil yang tak ternilai harganya.

Unsur Intrinsik

  • Tema: Kehilangan dan usaha mendapatkan kembali sesuatu yang berharga
  • Tokoh: Aku (tokoh protagonis), Fikri (teman setia), tetangga, pemilik rumah
  • Latar: Lingkungan perumahan, lapangan mini, rumah tetangga
  • Alur: Maju
  • Sudut pandang: Orang pertama
  • Amanat: Kesabaran, persahabatan, dan ketekunan sangat penting
  • Gaya bahasa: Naratif, deskriptif, emosional

Unsur Ekstrinsik

  • Latar belakang penulis: Pernah hidup di lingkungan perumahan dengan kebiasaan bersepeda
  • Latar masyarakat: Lingkungan komunal dengan interaksi antar tetangga
    Nilai: Persahabatan, ketekunan, menghargai barang dan orang lain
  • Sikap pengarang: Menghargai hubungan sosial dan pengalaman anak
  • Psikologi pengarang dan pembaca: Memunculkan empati dan kesadaran
  • Keadaan lingkungan pengarang: Lingkungan aman, komunal, peduli terhadap anak

4. Panggung Seni yang Ditunda

Setiap tahun, SMP Cendekia mengadakan pentas seni. Aku, sebagai anggota klub drama, selalu menantikan momen itu. Kami berlatih selama berbulan-bulan, menulis naskah, berlatih dialog, dan mempersiapkan kostum. Pentas seni adalah puncak dari kerja keras kami.

Namun suatu hari, kepala sekolah mengumumkan bahwa pentas harus ditunda karena adanya renovasi gedung aula. Semua anggota klub drama merasa kecewa. Aku bahkan tidak bisa menahan air mata ketika mendengar berita itu. Kami telah berlatih dengan keras, tetapi semuanya harus ditunda.

Aku tidak ingin usaha kami sia-sia. Bersama teman-teman, kami meminta izin untuk menggelar pentas di halaman sekolah. Awalnya kepala sekolah ragu, tapi setelah kami menjelaskan bahwa kami sudah menyiapkan panggung sederhana, sound system, dan jadwal latihan, akhirnya diperbolehkan.

Hari pentas tiba. Meski panggung sederhana dan tidak semegah aula, para penonton tetap antusias. Tawa, tepuk tangan, dan sorak-sorai menggema di halaman. Kami berhasil menampilkan drama terbaik, meski tempatnya tidak ideal.

Pengalaman ini mengajarkanku bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Kreativitas, kerja keras, dan keberanian bisa membuat sesuatu yang sederhana menjadi luar biasa. Pentas seni bukan hanya soal panggung dan lampu sorot, tetapi tentang semangat, persatuan, dan rasa bangga akan usaha sendiri.

Unsur Intrinsik

  • Tema: Keterbatasan dan kreativitas
  • Tokoh: Aku (tokoh protagonis), teman-teman klub drama, kepala sekolah
  • Latar: SMP Cendekia, aula dan halaman sekolah
  • Alur: Maju
  • Sudut pandang: Orang pertama
  • Amanat: Jangan menyerah, kreativitas dan kerja keras bisa mengatasi keterbatasan
  • Gaya bahasa: Naratif, deskriptif, motivasional

Unsur Ekstrinsik

  • Latar belakang penulis: Pernah aktif di kegiatan ekstrakurikuler sekolah
  • Latar masyarakat: Sekolah menengah dengan kegiatan seni dan budaya
  • Nilai: Kreativitas, kerja keras, persatuan
  • Sikap pengarang: Menghargai perjuangan siswa dan kegiatan sekolah
  • Psikologi pengarang dan pembaca: Termotivasi dan empati terhadap usaha anak
  • Keadaan lingkungan pengarang: Sekolah aktif dan mendukung kegiatan seni

5. Kucing Hitam di Pekarangan

Pekarangan rumahku selalu sepi, kecuali saat kucing hitam muncul. Kucing itu datang setiap sore, duduk di bawah pohon mangga, memandangku dengan mata hijau bersinar. Aku menamainya Lintang.

Awalnya, orang tua tidak setuju. “Jangan terlalu dekat sama kucing itu, nanti kotor dan sakit,” kata ibu. Tapi aku merasa ada ikatan khusus dengan Lintang. Setiap pulang sekolah, aku memberinya makan dan mengelus bulunya.

Suatu malam, Lintang hilang. Aku mencari ke setiap sudut pekarangan dan jalan sekitar, tapi tak ada jejak. Hati terasa hampa. Esoknya, tetangga memberitahuku bahwa Lintang terluka dan dibawa ke dokter hewan. Aku segera menemuinya.

Setelah beberapa minggu perawatan, Lintang pulih dan kembali ke pekarangan. Aku belajar banyak dari kejadian ini: tanggung jawab merawat makhluk hidup, pentingnya kesabaran, dan arti kasih sayang. Lintang bukan sekadar kucing; ia teman, pelipur lara, dan bagian dari keluarga kecilku.

Unsur Intrinsik

  • Tema: Kasih sayang dan tanggung jawab terhadap hewan
  • Tokoh: Aku, orang tua, Lintang (kucing)
  • Latar: Rumah dan pekarangan
  • Alur: Maju
  • Sudut pandang: Orang pertama
  • Amanat: Merawat makhluk hidup memerlukan kasih sayang, kesabaran, dan tanggung jawab
  • Gaya bahasa: Naratif, deskriptif, emosional

Unsur Ekstrinsik

  • Latar belakang penulis: Memiliki pengalaman merawat hewan peliharaan
  • Latar masyarakat: Lingkungan rumah dengan anak-anak yang peduli hewan
  • Nilai: Kasih sayang, tanggung jawab, kesabaran
  • Sikap pengarang: Peduli terhadap hewan dan lingkungan
  • Psikologi pengarang dan pembaca: Empati terhadap makhluk hidup
  • Keadaan lingkungan pengarang: Rumah dengan pekarangan luas dan hewan peliharaan

6. Hari Pertama di Sekolah Baru

Hari pertama di SMP Bintang Harapan membuatku deg-degan. Aku pindah dari kota kecil ke kota besar karena pekerjaan orang tua. Semua tampak asing: bangunan, lorong panjang, dan teman-teman baru yang sudah saling mengenal.

Saat masuk kelas, semua mata menatapku. Aku merasa canggung dan ingin segera duduk di bangku pojok. Guru kelas, Pak Rendra, menyambutku dengan hangat. “Selamat datang! Semoga kamu betah di sini,” katanya sambil tersenyum.

Ternyata, teman-teman baru juga ramah. Ada seorang anak bernama Daffa yang menawarkanku duduk bersamanya. “Jangan khawatir, nanti aku kenalin kamu ke teman-teman lainnya,” ujarnya. Aku tersenyum lega.

Jam demi jam berlalu. Pelajaran pertama terasa menegangkan, tapi aku mulai menyesuaikan diri. Saat istirahat, Daffa mengajakku makan siang di kantin. Kami berbagi makanan dan saling bercerita tentang hobi masing-masing. Aku mulai merasa nyaman.

Namun, saat pelajaran olahraga, aku mendapat tantangan dari teman-teman untuk ikut lomba lari. Jantungku berdebar, tapi aku menerima tantangan itu. Meski tidak menang, aku mendapat tepuk tangan dari teman-teman dan pujian dari guru olahraga.

Pengalaman hari pertama itu mengajarkanku banyak hal: keberanian menghadapi lingkungan baru, pentingnya bersikap ramah, dan percaya diri. Aku sadar, meski lingkungan baru awalnya menakutkan, keterbukaan dan kepercayaan diri bisa membuatku diterima.

Hari itu aku pulang dengan senyum lebar. Kota baru tidak lagi terasa menakutkan. Aku menatap sekolah yang tinggi dan megah sambil berjanji pada diriku sendiri, “Aku bisa menyesuaikan diri. Aku bisa menjadi bagian dari sini.”

Unsur Intrinsik

  • Tema: Adaptasi dan keberanian menghadapi lingkungan baru
  • Tokoh: Aku, Daffa, Pak Rendra, teman-teman sekelas
  • Latar: SMP Bintang Harapan, kelas, kantin, lapangan olahraga
  • Alur: Maju
  • Sudut pandang: Orang pertama
  • Amanat: Keberanian dan keterbukaan akan membantu menghadapi perubahan
  • Gaya bahasa: Naratif, deskriptif, emosional

Unsur Ekstrinsik

  • Latar belakang penulis: Pernah mengalami pindah sekolah
  • Latar masyarakat: Lingkungan sekolah di kota besar
  • Nilai: Keberanian, persahabatan, adaptasi
  • Sikap pengarang: Mendukung sikap positif terhadap perubahan
  • Psikologi pengarang dan pembaca: Membangkitkan empati dan motivasi
  • Keadaan lingkungan pengarang: Sekolah dengan lingkungan baru yang menantang

7. Kue Cokelat untuk Ibu

Aku selalu menyukai kegiatan memasak bersama ibu. Suatu hari, aku memutuskan untuk membuat kue cokelat spesial sebagai kejutan ulang tahun ibu. Aku membaca resep dari buku masak yang sudah lusuh, menyiapkan tepung, telur, dan cokelat bubuk.

Prosesnya tidak mudah. Tepung tumpah, cokelat meleleh terlalu cepat, dan adonan hampir gosong. Aku sempat ingin menyerah, tapi teringat senyum ibu yang selalu hangat memberiku semangat. Aku menarik napas panjang dan melanjutkan.

Setelah hampir dua jam, akhirnya kue cokelat itu matang. Aromanya memenuhi dapur. Aku menaruhnya di atas meja, menunggu ibu pulang. Saat ibu masuk rumah, aku menyambutnya sambil berkata, “Selamat ulang tahun, Bu! Ini kue buat Ibu.”

Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Ini spesial sekali, Nak. Terima kasih,” ucapnya sambil memelukku erat. Aku merasa bahagia bukan karena hasilnya sempurna, tetapi karena usahaku diterima dengan hangat.

Pengalaman itu mengajarkanku arti kesabaran, ketelitian, dan cinta dalam setiap usaha yang kita lakukan. Kue cokelat sederhana itu menjadi simbol kasih sayangku pada ibu dan pelajaran bahwa usaha yang tulus akan selalu membuahkan kebahagiaan.

Sejak hari itu, aku lebih menghargai ibu, tidak hanya melalui kata-kata, tetapi melalui tindakan nyata. Bahkan kegiatan sederhana, jika dilakukan dengan hati, bisa menjadi kenangan yang indah dan berarti.

Unsur Intrinsik

  • Tema: Kasih sayang dan kesabaran
  • Tokoh: Aku, ibu
  • Latar: Rumah, dapur, ruang makan
  • Alur: Maju
  • Sudut pandang: Orang pertama
  • Amanat: Usaha tulus dan kesabaran membawa kebahagiaan
  • Gaya bahasa: Naratif, deskriptif, emosional

Unsur Ekstrinsik

  • Latar belakang penulis: Memiliki pengalaman memasak dan hubungan dekat dengan orang tua
  • Latar masyarakat: Kehidupan keluarga biasa
  • Nilai: Kasih sayang, kesabaran, ketekunan
  • Sikap pengarang: Menghargai hubungan anak dan orang tua
  • Psikologi pengarang dan pembaca: Membuat pembaca merasa hangat dan termotivasi
  • Keadaan lingkungan pengarang: Rumah dengan suasana kekeluargaan

Kesimpulan

Demikianlah contoh cerpen pendek beserta unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Materi ini selalu hadir dalam soal ujian tengah semester, akhir semester, maupun ujian sekolah mata pelajaran bahasa Indonesia.

Bila sudah belajar masing-masing materi tersebut kamu pasti tidak akan kesusahan lagi menjawab soal mengenai materi ini.

Semoga contoh cerpen pendek yang dilengkapi dengan unsur intrinsik dan ekstrinsiknya ini membuatmu makin paham, ya!


Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idamanmu:

Kost Dekat UGM Jogja

Kost Dekat UNPAD Jatinangor

Kost Dekat UNDIP Semarang

Kost Dekat UI Depok

Kost Dekat UB Malang

Kost Dekat Unnes Semarang

Kost Dekat UMY Jogja

Kost Dekat UNY Jogja

Kost Dekat UNS Solo

Kost Dekat ITB Bandung

Kost Dekat UMS Solo

Kost Dekat ITS Surabaya

Kost Dekat Unesa Surabaya

Kost Dekat UNAIR Surabaya

Kost Dekat UIN Jakarta