Apa itu Malam Satu Suro? Keistimewaan, Tradisi, dan Mitos Larangan yang Berkembang di Masyarakat
Apa itu Malam Satu Suro? Keistimewaan, Tradisi, dan Mitos Larangan yang Berkembang di Masyarakat – Malam satu suro dapat didefinisikan juga sebagai malam pertama di bulan suro, yaitu bulan atau sasi pertama dalam penanggalan kalender jawa.
Kalender jawa ini merupakan warisan dari kesultanan mataram.
Pada saat itu penanggalan ini juga biasa disebut dengan kalender sultan agungan karena penanggalan ini yang diciptakan ketika era pemerintahan sultan agung (1613-1645). Yuk, simak terus!
Keistimewaan Malam Satu Suro
Penyusunan kalender jawa ini pun memiliki penyusunan yang terbilang unik.
Penanggalan ini adalah hasil penggabungan sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan juga sistem penanggalan budaya-budaya barat yang juga disebut dengan sistem penanggalan julian.
Dikarenakan itu, dalam penanggalan jawa ini biasanya malam satu suro akan selalu bertepatan dengan tanggal 1 muharram dari penanggalan hijriyah atau penanggalan islam.
Namun, uniknya juga dalam penanggalan hijriyah, malam 1 muharram berbeda dengan malam satu suro.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan kedua penanggalan tersebut dalam menetapkan pergantian sasi atau bulan maupun pergantian hari.
Penanggalan kalender jawa mengikuti candrasangkala jawa yang penetapan pergantian harinya ketika pergantian sasi atau bulan yang bersifat tetap yaitu pada saat surup atau terbenamnya matahari yaitu sekitar jam 17.00-18.00.
Sedangkan dalam penanggalan hijriyah, pergantian hari ketika pergantian bulannya berdasarkan dengan hilal dan rukyat.
Malam satu suro pada dasarnya adalah tentang pergantian waktu.
Namun dalam keterkaitan dengan pentingnya waktu dengan siklus kehidupan, ritual, dan perhitungan-perhitungan lainnya, di indonesia malam satu suro memiliki makna yang khusus dan istimewa.
Terutama mengingat Indonesia adalah daerah yang didiami begitu banyak kepercayaan dan budaya.
Pengaruh Masuknya Islam ke Daerah Jawa
Berkaitan dengan itu pula malam satu suro diperingati dengan perayaan-perayaan. Perayaan tersebut tidaklah lepas dari pengaruh masuknya Islam ke daerah jawa.
Dalam era Kerajaan Demak (931H – 1443 Tahun jawa), pada waktu itu Sultan Agung menghendaki persatuan rakyatnya untuk melawan kekuasaan belanda di Batavia.
Selain itu, Sultan Agung juga didasari oleh motivasi mempersatukan jawa. Sang sultan tidak ingin adanya perpecahan dalam masyarakatnya terutama oleh faktor banyaknya perbedaan agama diantara masyarakatnya.
Atas dasar hal-hal itu, demi adanya persatuan antara kelompok santri dan abangan, setiap jumat legi diadakan laporan oleh pemerintah lokal setempat.
Selain laporan, para masyarakat pun berkumpul untuk melakukan pengajian dan melakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri.
Bertepatannya jumat legi dan satu suro waktu itu, maka hari itu pun jadi ikut dikeramatkan.
Banyak juga yang mempercayai jika hari tersebut tidak diisi oleh hal-hal selain ziarah, haul, ataupun mengaji maka hari itu pun akan diisi oleh kesialan-kesialan.
Dalam kepercayaan tradisional, adapun yang mempercayai bahwa malam satu suro ini adalah malam dimana dunia mistis dn roh-roh jahat berkeliaran.
Atas dasar itu, masyarakat dianjurkan untuk mengambil tindakan pencegahan seperti menghindari aktivitas-aktivitas yang tidak terlalu penting diluar rumah pada malam hari .
Berbicara tentang kepercayaan tradisional, penanggalan jawa sebenarnya diawali dengan penanggalan saka. Oleh sebab itu, masih ditemukan beberapa ritual termasuk kirab malam satu suro.
Dalam tahun-tahun saka, masyarakat masih mengadakan suatu tirakat ataupun semedi.
Hal itu yang memberikan dampak sampai sekarang orang-orang jawa khususnya yang ingin melestarikan budaya ajaran jawa pun masih mengadakan ritual seperti semedi ataupun laku prihatin.
Tradisi Malam Satu Suro
Seperti yang bisa ditarik kesimpulan dari pembahasan diatas, Malam satu suro melahirkan tradisi-tradisi dan perayaan di daerah jawa. Tradisi-tradisi tersebut tersebar di berbagai daerah dengan bervariasi.
Walaupun bervariasi, namun biasanya tradisi perayaan tersebut memiliki garis merah antara satu yang lain.
Umumnya perayaan-perayaan tersebut selalu diselingi dengan ritual doa yang dilakukan oleh orang-orang yang hadir dalam perayaan tersebut.
Adapun hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Y.M.E dan mendapatkan berkahNya dan menangkis setiap kemalangan-kemalangan hidup.
Berikut ini kita simak juga beberapa tradisi-tradisi yang cukup terkenal dari berbagai daerah di Jawa.
1. Kirab Kebo Bule (Keraton Solo)
Selain menjadi sebuah ritual, kirab kebo bule ini pun menjadi salah satu daya tarik wisata di indonesia.
Kirab kebo bule ini merupakan arak-arakan atau pawai sekelompok kerbau yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Kerbau-kerbau tersebut diyakini sebagai keturunan dari Kyai Slamet.
Seekor kerbau bule atau albino hasil dari pemberian bupati ponorogo kepada Sultan Pakubuwono II yang memimpin Kartasura pada era tersebut.
Pawai ini memiliki berbagai macam unsur yang unik.
Jadi, karena kerbau ini diyakini sebagai keturunan dari Kyai Slamet, maka kerbau-kerbau ini pun diperlakukan bak pangeran oleh abdi dalem dan punggawa keraton Surakarta.
Pawai pun biasanya dimulai dengan pemanjatan doa oleh para abdi dalem keraton Surakarta dan penyebaran singkong dan kembang tujuh rupa untuk menyambut kerbau-kerbau tersebut.
Pawai pun tidak akan berlanjut sebelum kerbau-kerbau itu keluar dengan sendirinya tanpa ada paksaan sedikitpun.
Setelah kerbau-kerbau itu keluar dan diiringi oleh srati atau pawang, kerbau-kerbau itu akan berjalan diikuti oleh abdi dalem dan para punggawa yang membawa tombak beserta pusaka-pusaka dari keraton.
Tak banyak pula yang ingin menyentuh kerbau-kerbau tersebut yang dianggap akan membawa berkah, walaupun pada akhirnya tindakan tersebut akan dilarang oleh para srati demi menghindari respon agresif dari para kerbau.
Dengan setiap keunikannya tersebut tak aneh kirab ini menjadi magnet untuk para wisatawan dan domestik. Banyak para wisatawan yang sengaja datang untuk melihat kirab ini.
2. Tapa Bisu Mubeng Beteng (keraton Yogyakarta)
Tradisi yang satu ini terlahir dari Keraton Yogyakarta.
Ritual ini berbentuk seperti pawai mengelilingi benteng keraton Yogyakarta dan yang mengikutinya diwajibkan tidak boleh berbicara sama sekali ataupun tapa bisu.
Sebelum ritual ini dimulai biasanya dilantunkan tembang Macapat dari Bangsal Srimanganti yang bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat yang akan ikut dalam ritual tersebut.
Sehingga, para peserta memiliki kesiapan batin dan masuk kedalam suasana meditasi.
Dalam tembang macapat itu pun diisi dengan doa-doa untuk mendekatkan diri dengan Sang Maha Kuasa sebelum berjalan mengelilingi benteng tersebut.
Ritual dimulai setelah 12 dentangan lonceng Kyai Brajanala di regol keben. Setelah itu para peserta ritual harus berjalan mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta yang berjarak kurang lebih 5 km .
Adapun barisan terdepan rombongan pun diisi oleh para abdi dalem kraton Yogyakarta yang berjalan menggunakan pakaian adat jawa dan tanpa alas kaki dan keris.
3. Pawai Obor (Lumajang)
Pawai ini biasanya diikuti oleh para masyarakat dan santri yang menempuh perjalan sekitar 2 kilometer dengan membawa obor juga bersholawat dan berujung di lapangan desa setempat.
Sesampainya di lapangan pun biasanya mereka mengadakan kegiatan sholawat dan doa Bersama.
Biasanya acara puncak nya pun dilanjutkan keesokan paginya dengan arak-arakan tumpeng gunungan hasil dari bumi dan ruwatan air di mata air tirtosari.
Selain itu, tradisi-tradisi yang terlahir di malam satu suro tidak hanya melahirkan perayaan pawai saja, tetapi melahirkan juga tradisi yang berbentuk kesenian dan budaya.
Salah satu contohnya adalah wayang kulit, salah satu kesenian yang sangat kental di dalam budaya Indonesia.
Perhelatan wayang kulit di malam satu suro juga sering diiringi dengan mitos-mitos mistis semacam para penonton wayang kulit harus mengikuti perhelatan itu sampai akhir.
Jika memilih untuk pergi sebelum perhelatan berakhir maka akan terjadi sesuatu yang mistis pada orang tersebut.
Penutup
Nah, itulah ulasan lengkap tentang apa itu malam satu suro. Bisa disimpulkan malam satu suro memiliki interpretasi dan pemaknaan yang bermacam-macam.
Ada yang meyakini malam ini penuh dengan cara pandang spiritual yang cukup dalam, ada juga yang memaknainya sebagai momen indahnya budaya dan tradisi yang bervariasi di Indonesia.
Namun, apapun itu yang pasti Malam satu suro sangat melekat dengan warisan kebudayaan dari Indonesia yang begitu luar biasa kaya dan patut untuk dipertahankan agar tidak termakan zaman.
Jika kamu ingin mengetahui informasi menarik lainnya tentang tradisi atau kebudayaan Indonesia lainnya, kunjungi blog Mamikos Info, ya!
Klik dan dapatkan info kost di dekat mu: