15 Cerita Romantis Singkat tentang Cinta, Awas Bikin Baper dan Senyum-senyum Sendiri

Memiliki cerita romantis tentu menjadi idaman banyak orang. Sebenarnya kisah cinta romantis ini banyak terjadi di kehidupan nyata.

Tetapi, terkadang banyak diantara kita yang menginginkan memiliki kisah cinta romantis seperti yang ada di dalam film maupun novel. Padahal arti romantis tidak selalu harus demikian.

Dalam artikel ini, Mamikos akan memberikan contoh cerita romantis singkat tentang cinta. Yuk, simak hingga akhir! 📖❤️

Contoh Cerita Romantis Singkat tentang Cinta

unsplash.com/@carolineveronez

Di bawah ini adalah beberapa contoh cerita romantis singkat yang dapat bikin kamu baper.

Kamu bisa gunakan contoh cerita romantis di bawah berikut untuk menciptakan momen tak terlupakan bersama sosok yang kamu sayang. Selamat membaca.

1. Angkringan 44

Setelah dipindah tugaskan ke kota lain, Raka sempat kesulitan mencari tempat yang cocok untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Hingga akhirnya, Raka menemukan sebuah tempat yang dirasa cocok untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh atasannya.

Tempat itu bernama angkringan 44. Selain lokasinya yang menyenangkan dan tenang buat mengerjakan hasil liputannya, tempat tersebut juga memiliki jaringan internet yang lumayan kencang.

Hampir setiap hari Raka selalu datang ke angkringan tersebut. Setiap kali datang ke tempat itu, Raka selalu memesan makanan dan minuman yang sama.

Es teh jumbo dan mie goreng dobel pakai telur merupakan makanan yang selalu dipesan Raka setiap kali datang ke sana.

Angkringan ini dijaga oleh seorang perempuan cantik yang usianya sekitar 20-an tahun, ia bernama Rini.

Setiap kali Raka datang ke sana, dirinya selalu sibuk dengan laptopnya. Hal inilah yang membuat Rini penasaran dengan pekerjaan yang digeluti Raka.

Suatu hari, Rini melihat Raka hanya duduk saja tanpa mengeluarkan laptopnya. Rini merasa bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk berbincang dengan Raka.

Akhirnya, Rini pun memberanikan diri. Ia kemudian berkenalan dengan Raka. Rini sempat terkejut ketika tahu bahwa ternyata Raka termasuk orang yang enak diajak ngobrol.

Dalam perkenalan hari itu, Rini tahu bahwa ternyata Raka merupakan seorang peneliti yang sedang ditugaskan untuk mencari sejarah desa yang ada di salah satu kecamatan Kediri.

Setelah perkenalan hari itu, hubungan Raka dan Rini semakin dekat. Setiap kali Raka datang ke sana, Raka selalu menyempatkan berbincang dengan Rini.

Perhatian Raka yang diberikan kepada Rini inilah yang membuat benih-benih cinta mulai hadir di dada Rini.

Dulu, Rini sempat ingin keluar dari tempat kerjanya. Namun, setelah berkenalan dengan Raka, kini Rini menjadi semangat dalam menjalani pekerjaannya.

Satu hal yang membuat Rini sangat suka pada Raka. Hal tersebut adalah Raka termasuk orang yang tidak pelit ilmu.

Semenjak berkenalan dengan Raka, banyak pengetahuan baru yang didapat Rini. Tapi, kegembiraan Rini tak berlangsung lama.

Sepekan ini, Raka tidak lagi muncul. Bangku yang biasa dipakai Raka duduk selalu kosong. Rini merasa menyesal karena belum meminta kontak Raka.

Semenjak tidak lagi berjumpa dengan Raka, seperti ada yang kosong di dalam hati Rini. Meski berkali-kali mencoba melupakan tetapi bayangan Raka semakin kuat dalam benak Rini.

Suatu sore, angkringan Rini sedang sepi pengunjung. Kebetulan hari itu hujan sedang turun dengan derasnya.

Rini yang sedang memainkan hp-nya terkejut setengah mati saat ada orang yang berdiri di hadapannya.

“Kamu menungguku, ya!” kata orang itu.

Mata Rini terbelalak. Belum sempat kaget Rini hilang, orang tersebut kembali mengajukan pertanyaan yang membuat bingung Rini.

“Nikah, yuk!” sambung orang tadi.

Rini hanya bisa mengangguk. Menuruti permintaan orang yang telah membuat hari-harinya lebih berwarna dari kemarin.

2. Tentang Sebuah Janji

Sekitar pukul 01.00 dini hari, Bisma pulang dari ngojeknya. Saat dalam perjalanan pulang, ia melihat sesosok perempuan tergeletak di pinggir jalan yang sepi dan jauh dari pemukiman warga.

Bisma sempat mengira sosok perempuan yang dilihatnya itu korban pembunuhan. Bisma lalu turun dari kendaraannya dan mencoba memastikan keadaan sosok perempuan tersebut.

Untungnya, saat dicek keadaannya, perempuan itu hanya pingsan karena pengaruh minuman beralkohol.

Bisma terkejut saat tahu bahwa sosok perempuan yang dilihatnya malam itu adalah Devi salah satu pelanggannya.

Tak ingin keadaan Devi memburuk, Bisma lantas membawa Devi ke klinik terdekat. Setelah sampai di klinik, Devi segera mendapat penanganan secara medis.

Sedikit demi sedikit kondisi Devi membaik. Keesokan harinya, Devi sadar. Ia merasa bingung kenapa dirinya bisa berada di klinik. Padahal, seingatnya ia terakhir sedang berada di sebuah diskotik.

Devi kemudian memanggil suster. Dari suster inilah Devi tahu bahwa dirinya dibawa ke klinik oleh seorang tukang ojek bernama Bisma.

Devi sempat bingung dengan bagaimana cara dirinya membayar biaya klinik, tetapi Devi bisa bernafas lega saat tahu bahwa biaya pengobatannya telah dilunasi Bisma.

Setelah keluar dari klinik, Devi berusaha mencari Bisma. Namun, usaha Devi untuk mencari Bisma tidaklah mudah.

Devi sudah mencari Bisma di pangkalan ojek yang sering digunakan Bisma nongkrong. Tetapi, Bisma tidak ada di sana.

Selain itu, Devi juga berusaha menghubungi Bisma melalui nomor ponselnya, Sayangnya ponsel Bisma sudah tidak aktif.

Hingga ketika harapan Devi untuk menemukan Bisma hampir habis, Devi berhasil menemukan keberadaan Bisma.

Pada saat itu, Bisma sedang duduk di sebuah halte. Tanpa menyia-nyiakan waktu, Devi segera menemui Bisma.

Pada saat itu, Devi mengucapkan terimakasih kepada Bisma yang telah menyelamatkan nyawanya. Selain itu, Devi sempat marah karena Bisma sulit dihubungi.

Kemarahan Devi reda seketika saat tahu alasan Bisma sulit dihubungi. Alasan Bisma sulit dihubungi adalah karena hp-nya dijual untuk membayar biaya perawatan Devi selama di klinik.

“Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Devi.

“Aku mau pergi.” jawab Bisma.

“Entah. Aku tidak tahu. Tapi, yang pasti aku ingin memulai hidup baru. Aku sudah mulai bosan dengan kota ini.”

“Kalau kamu pergi. Aku bagaimana? Siapa yang akan mengantarku lagi? Lalu kalau ada apa-apa denganku, bagaimana?”

Bisma tentu saja tidak siap dengan berondongan pertanyaan dari Devi ini. Alih-alih menjawab pertanyaan Devi yang begitu panjang, Bisma memilih menjawab pertanyaan Devi dengan pertanyaan balik.

“Bagaimana kalau kamu ikut aku saja. Kita pergi ke daerah baru untuk memulai kehidupan baru?”

Devi pun memberikan jawaban di luar dugaan.

“Baik, aku akan pergi denganmu. Tetapi akan jadi apa kita?”

“Supaya lebih mudah bagaimana kalau kita jadi suami-istri saja?”

“Serius? Kamu tahu siapa aku kan?”

“Serius. Tentu. Aku tahu siapa kamu sebagaimana kamu tahu siapa aku sesungguhnya.”

Jawaban dari Bisma ini membuat air mata Devi meleleh. Devi tak menyangka bahwa ada pria yang mau menerima dirinya yang memiliki masa lalu yang sangat gelap.

3. Kisah di Lorong Sekolah

Suatu pagi tersiar sebuah kabar yang membuat gempar seisi sekolah. Salah satu siswa yang bernama Siska mengalami kecelakaan serius.

Dalam kecelakaan itu, Siska kehilangan banyak darah. Dan saat ini, untuk menyelamatkan nyawanya dibutuhkan seorang pendonor yang memiliki darah yang sama dengan Siska.

Sebenarnya, ayah Siska yang memiliki darah sama dengan Siska sedang berada di luar negeri dan sulit untuk dihubungi.

Sekitar pukul 08.00 pagi Dito dipanggil ke ruang guru. Pemanggilan ini tentu membuat Dito bingung.

Sebab, Dito merasa tidak melakukan kesalahan. Tak hanya Dito, teman-teman sekelas Dito juga bingung dengan pemanggilan ini.

Sebab, selama ini Dito dikenal sebagai anak yang rajin dan aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler utamanya PMR.

Ketika sampai di ruang guru, Dito terkejut karena ada sosok seorang perempuan yang belum pernah ditemui sebelumnya.

Sesaat kemudian, perempuan itu meminta tolong kepada Dito agar berkenan mendonorkan darahnya kepada Siska.

Selidik punya selidik, rupanya darah Dito dan Siska sama. Dito tak segera mengiyakan permintaan dari permintaan perempuan tadi.

Sebab, Dito teringat dengan perlakuan Siska kepadanya. Selain sering membullynya, Siska juga sering mengejek keluarga Dito.

Pada saat itu, hati dan pikiran Dito berkecamuk. Sebenarnya Dito ingin memberi pelajaran kepada Siska dengan tidak mendonorkan darahnya padanya.

Namun, ketika diberitahu bahwa nyawa Siska terancam apabila tidak segera mendapat pendonor darah, akhirnya, Dito mengalah. Ia berkenan mendonorkan darahnya kepada Siska.

Singkat cerita, beberapa minggu kemudian Siska kembali masuk sekolah. Hal yang pertama kali Siska lakukan di hari pertama masuk sekolah adalah menemui Dito.

Pada saat itu, keduanya berpapasan di lorong sekolah. Siska segera menarik lengan Dito. Tapi, yang dilakukan Siska ini menarik perhatian siswa lain.

Siska yang terbiasa membully Dito membuat siswa ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tak hanya siswa lain yang penasaran.

Dito sendiri pun penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya. Alangkah terkejutnya semua mata yang memandang. Di lorong sekolah itu terjadi suatu adegan yang sungguh di luar nalar.

Siska mengecup pipi Dito seraya mengucapkan, “Terima kasih. Aku mencintaimu. Terimakasih telah menyelamatkan nyawaku.”

Kata-kata yang keluar dari mulut Siska ini dengan seketika membuat lorong sekolah itu menjadi riuh.

Namun, hanya Dito yang berdiri tegak laksana tugu batu. Ia tidak mengerti kenapa Siska melakukan perbuatan semacam itu.

“Nanti, sepulang sekolah, bolehkah aku main ke rumahmu?” tanya Siska.

“Bo…boleh,” jawab Dito.

Hingga Siska berlalu, Dito masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Seribu pertanyaan terlintas di benak Dito. Namun, Dito bertekad untuk tetap waspada.

4. Dalam Diam yang Sama

Sejak kuliah semester pertama, Fajar selalu datang paling pagi ke perpustakaan kampus. Alasannya sederhana: ia merasa lebih mudah fokus mengerjakan tugas ketika suasananya sepi. Namun, ada alasan lain yang perlahan muncul kemudian—kehadiran seorang perempuan bernama Nadira.

Nadira hampir selalu datang selang beberapa menit setelah Fajar duduk. Ia selalu memilih meja yang sama, tepat di seberang Fajar, dengan segelas kopi hitam dan buku novel tebal di tangannya. Awalnya Fajar mengira itu hanya kebetulan, tetapi semakin lama ia sadar bahwa pola itu tidak pernah berubah.

Suatu pagi hujan deras mengguyur kota. Fajar berpikir Nadira tidak akan datang, tetapi tepat pukul delapan, sosok perempuan itu melangkah masuk sambil mengibas payung kecilnya.

Rambutnya sedikit basah, wajahnya memerah karena udara dingin. Fajar yang biasanya tenang justru merasa gugup karena Nadira tersenyum padanya sambil berkata, “Kamu juga datang pagi-pagi begini, ya?”

Fajar hanya mengangguk canggung.

Hari itu, untuk pertama kalinya mereka mengobrol cukup lama. Nadira bercerita bahwa perpustakaan adalah tempat paling nyaman baginya untuk menulis draft novel yang sedang ia susun.

Fajar, yang seorang mahasiswa teknik, tertawa kecil karena merasa tidak ada satu pun hal soal dirinya yang menarik untuk dibicarakan. Tapi Nadira justru berkata, “Kamu selalu terlihat tenang. Itu menginspirasi.”

Sejak hari itu, mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Kadang Fajar membantu Nadira mencari referensi untuk novelnya, kadang Nadira membawakan roti buatan neneknya untuk Fajar. Hubungan mereka terasa alami—tidak terburu-buru, tetapi juga tidak pernah kehilangan arah.

Hingga suatu sore, universitas mengadakan pameran buku hasil karya mahasiswa. Nadira mengajak Fajar datang karena bab pertama novelnya dipamerkan di sana.

Ketika Fajar membaca lembaran itu, jantungnya berdetak cepat—tokoh utama novel Nadira digambarkan sebagai seorang pria yang selalu datang pagi ke perpustakaan, duduk di meja yang sama, dan diam-diam menjadi alasan si tokoh perempuan terus kembali setiap hari.

Fajar menatap Nadira, bingung.

Nadira tersenyum. “Kamu sadar ini tentang siapa?”

“Jadi… selama ini kamu sengaja duduk di seberangku?” tanya Fajar.

“Aku menunggumu setiap hari, Faj.”

Tanpa bisa menahan perasaannya lagi, Fajar menggenggam tangan Nadira. “Kalau begitu, bisakah setelah ini kita menunggu hari-hari berikutnya bersama-sama?”

Nadira mengangguk pelan. Dalam diam yang sama, mereka akhirnya saling menemukan.

5. Langkah Setelah Senja

Aruna bekerja sebagai barista di sebuah kafe kecil dekat taman kota. Setiap hari ia melihat berbagai macam orang keluar masuk, tetapi hanya satu pelanggan yang selalu membuatnya merasa gugup: seorang fotografer lepas bernama Revan.

Revan selalu datang sebelum senja, membawa kamera dan laptopnya. Ia duduk di pojok dekat jendela, tempat cahaya matahari sore jatuh dengan lembut.

Dari balik meja bar, Aruna sering melihat Revan tersenyum ketika berhasil menangkap gambar yang ia sukai. Perlahan, Aruna jatuh hati pada caranya menghargai hal-hal kecil.

Namun, Revan hampir tidak pernah berbicara banyak. Ia hanya memesan hal yang sama: kopi latte hangat dan sepotong croissant. Aruna sempat mengira Revan tidak tertarik untuk mengenalnya, hingga suatu hari Revan datang tanpa kameranya. Wajahnya terlihat muram.

“Kopi biasanya?” tanya Aruna.

Revan menggeleng. “Hari ini… aku kehilangan kamera. Hilang di kereta. Semua hasil foto kerjaku ada di dalamnya.”

Aruna ikut merasa sedih. Tanpa banyak bicara, ia membuatkan latte dengan latte art berbentuk kamera kecil. Ketika Revan melihatnya, ia tertawa kecil untuk pertama kalinya. “Kamu selalu tahu cara membuat hariku membaik.”

Sejak kejadian itu, hubungan mereka perlahan berubah. Revan mulai bercerita tentang perjalanannya memotret berbagai tempat di Indonesia, sementara Aruna bercerita tentang mimpinya memiliki kedai kopi sendiri. Mereka menjadi dekat, tetapi tidak ada yang berani mengatakan perasaan masing-masing.

Hingga suatu hari, kafe tempat Aruna bekerja mengadakan acara kecil bertema “Senja dan Cerita.” Setiap pengunjung boleh memamerkan foto atau karya seni. Aruna terkejut ketika Revan tiba-tiba datang sambil membawa sebuah foto besar yang dipajang di dinding tengah ruangan.

Foto itu adalah potret Aruna yang sedang membuat kopi, dengan cahaya senja menyorot dari belakangnya. Di bawah foto tertulis, “Seseorang yang membuatku ingin berhenti berkelana dan pulang.”

Aruna menatap Revan dengan mata berkaca-kaca. “Kamu… memotret aku?”

Revan mengangguk. “Sejak pertama kali bertemu. Kamu rumah paling tenang yang pernah kutemukan.”

Aruna menunduk, tidak percaya. “Kenapa baru bilang sekarang?”

“Karena hari ini aku ingin memulai langkah baru. Tapi hanya jika kamu bersedia berjalan bersamaku.”

Aruna tersenyum sambil memegang tangan Revan. “Aku bersedia.”

Senja hari itu menjadi saksi awal perjalanan cinta mereka—langkah demi langkah, beriringan.

6. Hujan di Atas Payung yang Sama

Rani selalu membenci hujan. Baginya, hujan membawa kenangan buruk tentang rumah yang sering bocor saat kecil. Namun suatu sore, ketika ia terjebak di halte kecil dekat kampus, hujan mempertemukannya dengan seseorang yang mengubah pandangannya.

Namanya Bima—mahasiswa seni yang membawa payung biru besar dan setumpuk kertas sketsa. Ia berhenti di halte, melihat Rani menggigil, lalu tersenyum. “Kalau kamu mau, kita bisa pulang bareng. Aku cuma takut kamu masuk angin.”

Rani awalnya ragu, tetapi tatapan Bima terlalu tulus untuk ditolak. Mereka berjalan di bawah payung yang sama. Hujan turun deras, memaksa mereka berjalan lebih pelan. Setiap percikan air membuat jarak mereka semakin dekat.

Di tengah perjalanan, angin bertiup kencang dan payung tiba-tiba terbalik. Mereka berdua tertawa tanpa bisa menahan diri. “Payung ini sudah lebih tua dari hubungan orang tuaku,” kata Bima bercanda.

Rani tertawa lagi—tertawa yang membuat Bima ikut tersenyum lebih lebar.

Setelah hari itu, mereka menjadi semakin akrab. Bima sering mengantar Rani pulang saat hujan. Kadang ia membawa dua payung agar tidak terjadi kejadian memalukan lagi, tetapi Rani justru memilih berjalan di bawah payung yang sama.

Suatu sore, ketika hujan turun pelan, Bima mengeluarkan sebuah sketsa. Itu adalah gambar Rani yang berjalan di bawah payung biru, dengan rambut yang sedikit tertiup angin.

“Kapan kamu menggambar ini?” tanya Rani, terkejut.

“Pertama kali kita pulang bareng,” jawab Bima. “Sejak hari itu, aku sadar hujan nggak selalu tentang kenangan buruk.”

Rani tersenyum pelan. “Kenapa?”

“Karena hujan mempertemukanku dengan kamu.”

Rani menatap Bima dalam-dalam. Untuk pertama kalinya, ia merasa hujan tak lagi menakutkan. Ia meraih tangan Bima dan berbisik, “Mulai sekarang… kalau hujan, jangan lupa pakai payung yang sama, ya?”

Dan dengan itu, hujan tak pernah terasa sunyi lagi bagi keduanya.

7. Janji di Balik Aroma Kopi

Setiap pagi, Keanu selalu datang ke kedai kopi kecil tempat Alika bekerja. Ia selalu memesan hal yang sama: kopi hitam tanpa gula. Tapi yang membuat Alika penasaran bukan pesanannya—melainkan cara Keanu selalu menatapnya setiap kali ia menghidangkan kopi.

Suatu pagi, Keanu datang lebih awal dari biasanya. Ia terlihat gelisah.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Alika.

Keanu mengangguk, lalu menggeser sebuah buku kecil ke arahnya. “Aku mau minta tolong. Ini kumpulan puisiku… dan aku ingin tahu pendapatmu.”

Alika membaca beberapa halaman, lalu menatap Keanu. “Ini indah. Tapi kok banyak banget tentang seseorang yang… kamu kagumi diam-diam?”

Keanu tersenyum simpul. “Karena memang itu untuk seseorang.”

“Siapa?” tanya Alika, penasaran.

Keanu terdiam cukup lama hingga Alika mengira ia tak akan menjawab. Namun tiba-tiba ia berkata pelan, “Kamu.”

Kopi yang ada di tangan Alika hampir tumpah. “Aku?”

“Aku datang ke sini bukan cuma buat kopi,” lanjut Keanu. “Tapi karena kamu selalu jadi alasanku memulai hari dengan baik.”

Alika tersipu. Ia tidak menyangka seseorang sepeka Keanu menyimpan perasaan sedalam itu.

Tiga hari kemudian, Keanu kembali membawa sesuatu—segelas kopi hitam yang ia buat sendiri.

“Aku belajar bikin kopi demi kamu,” katanya. “Kalau aku gagal, kamu yang harus ajari.”

Alika tertawa. “Oke. Tapi aku kasih nilai dulu.”

Ia menyesap kopi itu. Rasanya terlalu pahit, bahkan untuk kopi hitam.

“Gimana?” tanya Keanu, cemas.

“Hmm…” Alika pura-pura berpikir. “Kurang manis.”

“Terlalu pahit?”

“Bukan,” jawab Alika sambil tersenyum. “Kurang manis karena nggak diminum bareng kamu.”

Keanu terdiam, lalu ikut tersenyum lebar. Hari itu, aroma kopi menjadi saksi awal hubungan mereka yang manis.

8. Menunggu di Bangku Taman

Setiap sore, Lana duduk di bangku taman sambil menggambar bunga-bunga di buku sketsanya. Ia suka suasana sore yang tenang, tapi lebih suka lagi melihat sosok yang selalu duduk dua bangku di sebelahnya—Daru.

Daru selalu membawa gitar. Ia memainkan melodi pelan yang menenangkan. Lama-lama, Lana menyadari bahwa setiap kali ia datang, Daru akan mulai memainkan lagu yang sama: melodi lembut yang belum pernah ia dengar.

Suatu hari, Lana memberanikan diri bertanya, “Kamu selalu main lagu itu. Judulnya apa?”

Daru tersenyum. “Belum ada. Soalnya belum selesai.”

“Kenapa belum selesai?”

“Karena inspirasi akhirnya belum tahu kalau lagu itu tentang dia.”

Lana tertegun. “Tentang siapa?”

Daru menatap sketsa bunga di pangkuan Lana. “Tentang kamu.”

Sejak hari itu, mereka semakin sering duduk berdampingan. Daru mengajarkan Lana beberapa chord gitar, sementara Lana menggambar Daru yang sedang memainkan musik.

Suatu sore yang cerah, Daru membawa kertas berisi lirik. “Lagunya sudah selesai,” katanya.

Ia menyanyikan lagu itu—tentang pertemuan sederhana, tentang sketsa bunga, tentang bangku taman, dan tentang perasaan yang tumbuh diam-diam.

Ketika lagu selesai, Lana sudah berkaca-kaca. “Ini… indah sekali.”

“Karena kamu inspirasinya.”

Lana menggenggam tangan Daru. “Kalau begitu, bolehkah aku jadi alasan lagumu terus berlanjut?”

Daru tersenyum. “Itu memang rencanaku.”

9. Suara dari Radio Tua

Nara bekerja di toko barang antik. Suatu hari, ia menemukan sebuah radio tua yang masih bisa berfungsi. Ketika ia memutarnya, suara penyiar laki-laki yang hangat langsung memenuhi ruangan.

Penyiar itu bernama Ares, dan ia memiliki siaran rutin tengah malam. Suaranya lembut, menenangkan, seolah berbicara langsung ke hati.

Setiap malam, Nara mendengarkan siaran itu sambil bekerja menata barang. Lama-lama ia merasa Ares seperti teman dekat, meski tak pernah bertemu.

Suatu malam, Nara memberanikan diri mengirim pesan ke acara itu. Ia bercerita bahwa ia bekerja sendirian di toko antik dan suara Ares membuatnya tidak merasa sendiri.

Tidak disangka, Ares membaca pesannya. “Untuk Nara di toko barang antik… terima kasih sudah menemani siaran ini. Semoga suatu hari kamu tidak perlu merasa sendirian lagi.”

Nara terdiam, senyum tak bisa ditahan.

Beberapa hari kemudian, seseorang datang ke toko. Lelaki bertubuh tinggi, berambut hitam, dengan suara yang langsung dikenali Nara ketika ia berkata, “Apa ini toko barang antik yang sering buka sampai malam?”

Nara terpaku. “Ares?”

Ares mengangguk sambil tersenyum. “Aku ingin melihat tempat yang sudah menemani suaraku setiap malam.”

Mereka berbincang lama. Ares mengaku sudah lama penasaran dengan Nara, apalagi setelah membaca pesannya. Koneksi itu terasa natural, seolah mereka sudah lama saling mengenal.

Di akhir kunjungan, Ares berkata pelan, “Kalau kamu tidak keberatan, besok aku ingin datang lagi.”

Nara tersenyum. “Aku sangat tidak keberatan.”

Sejak itu, suara yang dulu hanya terdengar lewat radio akhirnya menemukan wujudnya—dan hatinya.

10. Lentera di Atas Bukit

Setiap tahun, desa kecil tempat Ardi tinggal mengadakan Festival Lentera. Orang-orang menuliskan harapan pada kertas, menempelkannya pada lentera, lalu menerbangkannya bersama-sama ke langit malam.

Ardi selalu datang sendirian—sampai ia berkenalan dengan Sera, gadis baru yang pindah dari kota.

Sera meminta Ardi mengajarinya membuat lentera. Mereka menghabiskan sore di bukit sambil menuliskan harapan masing-masing.

“Harapan kamu apa?” tanya Sera.

Ardi tersenyum. “Rahasia.”

“Cih, pelit!”

Sera menunjukkan punya miliknya. Bertuliskan: “Semoga aku menemukan alasan untuk menetap.”

Ardi menatapnya lama. Kata-kata itu membuat dadanya hangat.

Malam harinya, mereka menerbangkan lentera bersama. Lentera Sera melayang lebih cepat, membuatnya panik. “Ardi! Lenteraku kabur!”

Ardi tertawa. “Memang begitu seharusnya.”

Sera menggenggam tangannya, tanpa sadar. “Aku harap harapanku benar-benar terkabul.”

Ardi berkata pelan, “Kalau alasannya orang, semoga itu aku.”

Sera terdiam. “Kalau begitu… mungkin sudah terkabul.”

11. Surat Tanpa Nama

Selama tiga minggu, Dara menerima surat tanpa nama yang selalu diletakkan di laci mejanya di studio seni. Surat-surat itu berisi pujian tentang lukisannya, dan kadang puisi pendek yang hangat.

Ia curiga salah satu teman sekelasnya mengirimkannya, tetapi tidak ada yang mengaku. Hanya satu orang yang tidak ia curigai—Reno, teman sekelas paling pendiam yang lebih sering melukis di pojok ruangan.

Suatu hari, Reno mendekatinya. “Lukisanmu makin bagus,” katanya.

Dara tersenyum. “Makasih. Rasanya kayak ada yang diam-diam nyemangatin aku.”

Reno terkejut kecil, tetapi tidak berkata apa-apa.

Hari berikutnya, surat baru muncul. Namun kali ini berbeda. Ada satu kalimat tambahan: “Aku ingin berhenti sembunyi, tapi aku takut kamu menjauh.”

Dara akhirnya menunggu di studio lebih lama dari biasanya. Ia melihat Reno masuk pelan dan menyelipkan surat ke lacinya.

“Jadi… kamu?” tanya Dara.

Reno tersipu. “Maaf. Aku cuma… kagum sama kamu.”

Dara mendekat, mengambil surat itu, lalu berkata lembut, “Kalau kamu berhenti sembunyi, aku janji nggak akan pergi.”

Reno menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum tanpa ragu.

12. Pertemuan di Tengah Macet

Nadia terjebak macet panjang ketika mobilnya mogok di tengah jalan. Ia sudah panik ketika seseorang mengetuk kaca mobil—seorang pria bernama Genta, pengendara motor yang menawarkan bantuan.

Setelah berhasil memperbaiki mobilnya, Genta berkata, “Kayaknya aku sering lihat kamu lewat jalan ini.”

Nadia tertawa. “Mungkin karena macetnya selalu nyari korban baru.”

Besoknya, saat macet lagi, Genta kembali muncul. “Ketemu lagi,” katanya sambil tersenyum.

Hari-hari berikutnya, pertemuan mereka jadi rutinitas tak terduga. Mereka berbagi cerita dari balik jendela mobil dan helm motor. Kadang mereka tertawa, kadang hanya mengeluh soal jalanan yang tidak bergerak sama sekali.

Suatu hari, Genta membawa kopi dingin untuk Nadia. “Biar nggak stres,” katanya.

Nadia tersipu. “Kamu perhatian banget.”

Genta mengangkat bahu. “Macet jadi lebih menyenangkan kalau ketemu kamu.”

Saat kemacetan akhirnya terurai, Nadia merasa kehilangan sesuatu.

Namun sebelum pergi, Genta mengetuk jendela dan berkata, “Kalau kamu mau… aku nggak keberatan ketemu kamu di tempat yang nggak macet.”

Nadia tersenyum cerah. “Aku mau.”

13. Restoran Tanpa Reservasi

Maya kesal karena restorannya penuh dan ia tidak bisa makan malam di sana meski sudah menunggu lama. Ketika ia hampir menyerah, seorang pria yang baru selesai makan mendekatinya.

“Kursi saya bentar lagi kosong. Kamu mau pakai?” katanya.

Maya berterima kasih, tetapi tiba-tiba pelayan berkata bahwa meja hanya bisa dipakai jika tamu datang dalam pasangan.

Pria itu tertawa pelan. “Gimana kalau kita pura-pura makan bareng?”

Nama pria itu Dilan. Mereka akhirnya duduk bersama dan mulai bercakap-cakap. Tidak ada rasa canggung, justru terasa natural. Mereka berbagi makanan, saling bercanda, dan bahkan memesan hidangan penutup yang sama.

Saat selesai makan, Dilan berkata, “Tadi cuma pura-pura… tapi kamu mau nggak kalau kita lanjut ngobrol beneran lain kali?”

Maya tersenyum. “Aku mau.”

Sejak malam itu, restoran itu jadi tempat kesayangan mereka.

14. Penerbangan yang Tertunda

Lila kesal karena penerbangannya tertunda empat jam. Ia duduk sambil memainkan ponselnya—sampai seorang pria di sebelahnya menawarkan cokelat.

“Aku Rafi,” katanya. “Kelihatannya kamu butuh ini.”

Mereka mengobrol panjang lebar tentang tujuan perjalanan masing-masing. Lila hendak menghadiri seminar, sementara Rafi ingin menjenguk kakaknya.

Ketika pengumuman delay ketiga muncul, mereka tertawa pasrah. Akhirnya mereka menghabiskan empat jam itu dengan bermain tebak-tebakan dan bercerita tentang hal-hal kecil yang lucu.

Saat mereka akhirnya dipanggil untuk naik pesawat, Rafi berkata pelan, “Aku senang penerbangannya delay.”

“Kenapa?”

“Soalnya kalau tidak, aku nggak akan kenal kamu.”

Lila tersipu, merasa penerbangan itu mungkin memang ditakdirkan terlambat.

15. Catatan di Buku Perpustakaan

Alya meminjam sebuah novel dari perpustakaan kampus. Di dalamnya, ia menemukan catatan kecil: “Bagian ini paling menyentuh. Kamu setuju?”

Penasaran, ia membalasnya dengan tulisan: “Setuju. Kamu suka bacaan seperti ini?”

Seminggu kemudian, catatan baru muncul di halaman lain. Alya dan si penulis misterius saling berkirim pesan lewat novel itu, membahas karakter, alur cerita, hingga impian masa depan.

Akhirnya, catatan itu berbunyi: “Minggu depan, ketemu di bangku taman sebelah perpustakaan?”

Alya datang, dan di sana berdiri seorang pria bernama Gavin—yang sering ia lihat membaca sendirian.

Gavin tersenyum gugup. “Senang akhirnya ketemu kamu secara langsung.”

Alya membalas senyum itu. “Aku juga.”

Pertemuan kecil itu menjadi bab pertama hubungan yang indah.

Penutup

Demikianlah contoh cerita romantis singkat. Semoga beberapa contoh cerita romantis ini dapat menjadi referensi bagi kamu yang sedang kebingungan dalam membuat cerita romantis.


Klik dan dapatkan info kost di dekat mu:

Kost Jogja Murah

Kost Jakarta Murah

Kost Bandung Murah

Kost Denpasar Bali Murah

Kost Surabaya Murah

Kost Semarang Murah

Kost Malang Murah

Kost Solo Murah

Kost Bekasi Murah

Kost Medan Murah