Contoh Cerpen beserta Sinopsis dan Strukturnya Lengkap
Contoh Cerpen beserta Sinopsis dan Strukturnya Lengkap – Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra yang bisa menjadi hiburan dan pengisi waktu luang.
Apakah kamu sedang mencari contoh cerpen yang dilengkapi dengan sinopsisnya?
Dalam artikel ini, Mamikos akan membahas tentang contoh cerpen beserta sinopsis dan strukturnya yang dapat kamu pelajari. Yuk, simak!
Contoh Cerpen, Struktur, dan Sinopsisnya
Daftar Isi
Daftar Isi
Suatu cerpen merupakan prosa fiksi yang bercerita tentang kejadian tokoh utama.
Cerpen bisa dibuat secara kreatif sesuai imajinasi penulis ataupun disesuaikan dengan kenyataan yang ada di sekitar.
Cerpen menyuguhkan cerita secara cermat dan jelas menggunakan bahasa singkat.
Pada cerpen, kamu tidak akan mendapati banyak tokoh karena ceritanya fokus pada satu aspek saja. Apalagi terdapat batasan kata pada cerpen yang kurang dari 10 ribu.
Penulisan cerpen pun perlu memperhatikan kaidah dan struktur yang berlaku.
Pada artikel berikut, Mamikos akan memberikan contoh-contoh cerpen beserta sinopsis dan struktur penulisannya untuk kamu jadikan referensi.
Struktur Penulisan Cerpen
Suatu cerpen mempunyai struktur membuat cerpen sebagai berikut:
- Abstrak, yaitu bagian yang menggambarkan seluruh isi cerita. Namun, bagian abstrak pada cerpen bersifat opsional, sehingga bisa disertakan ataupun tidak.
- Orientasi, yaitu bagian pengenalan cerita dengan menunjukkan tokoh dalam cerpen ataupun masalah yang dialami tokoh.
- Komplikasi atau puncak konflik, yaitu bagian yang bercerita tentang masalah tokoh utama. Bagian komplikasi dapat ditulis secara dramatis untuk membuat pembaca penasaran dan tegang.
- Evaluasi, yaitu bagian yang menyatakan komentar penulis terkait peristiwa puncak yang diceritakan dalam bentuk penggambaran langsung ataupun diwakili tokoh lain.
- Resolusi, yaitu bagian penyelesaian akhir dari keseluruhan bagian cerita pendek. Pada bagian ini pula ketegangan yang dirasakan pembaca akan mereda dan hanya tersisa masalah-masalah kecil.
- Koda, yaitu bagian simpulan hal-hal yang dirasakan sang tokoh
Contoh Cerpen beserta Sinopsis
Judul: Menjadi Nelayan
Orientasi
Suasana pesisir pantai tampak lengang. Dari jendela rumah, aktivitas pedagang yang biasanya tumpah ruah di tepi pantai sedang tak tampak, hanya terlihat beberapa pedagang ikan yang membereskan terpal untuk tempat menggelar ikan hasil tangkapan.
Sudah belasan tahun aku hidup di pesisir, mengamati aktivitas warga Kampung Kalongan yang tidak pernah surut. Namanya Kampung Kalongan.
Dijuluki begitu karena aktivitas warga, terutama para nelayan, dimulai malam hari, bak kalong atau kelelawar yang aktif di waktu malam.
Ketika pagi menjelang, iring-iringan kapal nelayan tradisional yang masih mengandalkan angin berebut menepi di pesisir disambut anak istri mereka yang siap menjual hasil tangkapan pada tengkulak atau pembeli yang jauh-jauh datang dari kota.
Berbeda dengan nelayan tradisional, nelayan dengan perahu bermotor dapat melaut kapan saja, asalkan cuaca mendukung. Sayangnya beberapa hari ini suasana tampak berbeda.
Gelombang sedang pasang. Tidak ada nelayan yang berani menantang maut, termasuk abah, sekalipun bulan ini ikan-ikan yang harganya melambung di pasaran sedang melimpah.
Abah memilih menyeruput kopi panas sambil mendengarkan lagu lawas dari radio tuanya yang sering dibawa melaut.
Komplikasi
“Abah, kalau besok gelombang tidak juga surut, bagaimana?” tanyaku. Abah melirik sebentar, kemudian menyeruput kembali kopi panasnya.
“Ya mau bagaimana lagi, seperti tidak tahu saja kalau banyak takdir Allah yang tidak bisa ditebak. Bisa jadi hari ini terus-menerus pasang, tapi siapa tau besok tiba-tiba surut. Kalaupun Allah belum memberikan kejutan besok, masih ada lusa, masih ada hari esok.” Jelas abah panjang lebar sambil membetulkan antena radio.
“Bukan begitu, Abah. Maksud Hikam, bagaimana uang bulanan sekolah yang sudah ditagih sejak kemarin?”
Abah menarik napas dalam-dalam, “Tenanglah, Hikam. Berdoalah yang banyak. Mintalah keajaiban pada Allah. Terkadang, hal yang tidak terduga justru muncul di akhir pengharapan, saat kita benar-benar pasrah pada yang kuasa.” kemudian tersenyum. Meneduhkan. Dalam hati aku mengiyakan kata-kata abah.
Aku kembali menatap ke arah laut yang gelombangnya semakin lama semakin tinggi. Tak mungkin aku memaksa abah untuk melaut, apalagi menggantikan beliau.
Tubuh jangkungku akan langsung dihempas ombak, seperti Anom, sahabatku yang nekat melaut hanya karena ingin membeli mobil radio kontrol dengan uangnya sendiri.
Ia tidak mengindahkan larangan abahnya dan malah nekat melaut diam-diam.
Untunglah ketika perahunya terbalik dihempas gelombang, ada nelayan lain yang melintas dan langsung menolongnya sehingga Anom bisa selamat.
Aku tidak seberani Anom. Jangankan sampai ke laut, menyentuh perahu abah saja rasanya sudah berdebar-debar.
Dari kejauhan, terlihat jelas ombak yang meninggi tetap berkejar-kejaran dengan irama tak beraturan, sedangkan matahari tampaknya akan membiarkan sang ombak berkejar-kejaran dalam kegelapan.
Matahari memilih kembali ke tempat peraduannya. Pemandangan langit di pantai Sabtu sore ini indah dan romantis, kontras dengan gelombang laut yang semakin beringas.
Barangkali benar kata abah, sebaiknya malam ini banyak-banyak berdoa pada Allah dan segera tidur. Masih ada hari Minggu. Semoga Allah memberikan keajaibanNya agar abah bisa melaut.
Evaluasi
Terbukti kata abah. Allah selalu punya rencana terbaik. KeajaibanNya membuat aktivitas para nelayan kembali seperti semula, bahkan tidak sampai menunggu Minggu.
Sabtu malam di pesisir pantai sudah dipadati nelayan yang akan berangkat melaut.
Aku terbangun mendengar deru perahu bermotor yang dipadu dengan sahut-sahutan suara nelayan yang saling menyemangati.
Nelayan dengan perahu bermotor sudah berangkat lebih dulu, sedangkan nelayan lain yang menggunakan perahu tradisional atau perahu berlayar masih berkutat dengan persiapan jaring ikannya masing-masing, tak terkecuali abah.
Tiupan angin cukup kencang untuk membuat perahu layar mengarungi lautan.
Maha Kuasa Allah, dengan kekuatanNya, malam ini angin yang bertiup dari darat ke lautan seakan memberi harapan baru bagi para nelayan.
Esok hari, angin dengan arah berlawanan akan membawa nelayan kembali pulang, membawa penghidupan.
Tiba-tiba aku teringat surat yang sering dibaca abah berulang-ulang sebelum melaut. Surat Yusuf ayat 22. Kata beliau, ayat tersebut senantiasa mengingatkan abah untuk bersyukur.
Sayangnya, sekalipun abah sering melaut, aku tidak diijinkan abah untuk ikut.
Tugasku menjaga rumah selagi abah belum kembali. Sejak ibu tiada, rumah berukuran kecil ini tidak pernah dihuni lebih dari dua orang selain aku dan abah.
Beliau bekerja siang-malam untuk membiayaiku di sekolah menengah yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Hampir seluruh teman-temanku adalah anak nelayan.
Cita-cita mereka adalah sekolah di luar daerah, kemudian menjadi pegawai negeri. Orang tua mereka juga mengharapkan anaknya tidak menjadi nelayan.
Kehidupan dari laut memang tidak selalu pasti. Pernah suatu ketika aku mengutarakan pada abah bahwa aku ingin menjadi nelayan, namun abah menentang kuat.
“Abah akan tetap berusaha menyekolahkanmu tinggi-tinggi, agar engkau, Hikam, bisa menjadi pegawai negeri, bisa lebih baik dari abah. Kalau kau memang tidak ingin menjadi pegawai pemerintah, jadilah apa saja, tapi jangan nelayan.” Nasihat abah panjang lebar.
Aku tahu alasan abah memintaku untuk tidak menjadi nelayan pasti karena beliau begitu menyayangiku. Namun aku punya alasan kuat untuk cita-citaku.
Semburat matahari mulai terlihat. Sebagian perahu yang melaut malam tadi sudah menepi di pesisir. Aku berlari-lari kecil karena kulihat perahu abah mulai terlihat di kejauhan.
Biasanya beliau meminta tolong kuli untuk membantu membawakan hasil tangkapan, namun kali ini aku berniat membantu abah sendiri.
Senyum abah merekah seiring dengan mendekatnya perahu ke tepi pantai. Aku yakin, abah mendapat banyak ikan hari ini.
“Bagaimana, Abah?” tanyaku sambil membantu abah mendorong perahu untuk menepi.
“Alhamdulillah…esok hari engkau bisa membayar sekolah, Hikam.” ujar beliau sambil mengelus kepalaku. Kulihat ada banyak ikan tertangkap di jaring abah.
Beberapa ikan berukuran sangat besar, beberapa yang lebih kecil ukurannya seperti paha orang dewasa, dan ikan-ikan yang sebesar telapak tangan banyak tersangkut di jaring abah.
Aku membantu abah melepaskan ikan-ikan dari jala dan memasukkannya dalam ember.
Ikan-ikan itu menggelepar-gelepar di tangan, membuatku kesulitan untuk memindahkannya, namun abah dengan cekatan memasukkan ikan tangkapannya ke dalam ember.
Hampir satu jam berkutat dengan ikan, inilah saatnya menjual ikan-ikan tadi ke pasar yang lokasinya tidak jauh dari pantai.
Ketika akan mengangkat ember, bang Togar, nelayan senior di kampung sedang meminta para kuli membantu membawakan hasil tangkapannya. Aku menyenggol lengan abah,
Resolusi
“Abah, lihat Bang Togar.” kemudian abah melirik sekilas.
“Biarkan saja,itu rezeki dia, yang ini rezeki kita.” ujar abah sambil menunjuk ember yang kubawa.
“Tapi Bang Togar curang, Abah. Dia menangkap ikan yang masih kecil. Dia pakai pukat, pakai racun, pakai bom, pakai…” kalimatku terputus.
“Apakah kau iri dengan rezeki yang ia peroleh, Hikam?”
Aku menggeleng kuat, “Hikam hanya…mm…kasihan ikannya. Kasihan laut kita, Abah. Pasti banyak yang rusak kalau menangkapnya dengan cara kasar begitu. Kasihan Bang Togar juga menjemput rezekinya dengan cara yang tidak halal. Orang lain yang tidak peduli dengan laut kita akan meniru cara Bang Togar. Sekali dua kali sih tidak masalah, tapi hidup kita terlalu mengandalkan laut, Abah. Hikam takut laut kita rusak dan tidak dapat memenuhi kebutuhan kita lagi.”
Abah tertawa kecil, “Tapi jangan lupa, masih banyak nelayan yang jujur, yang mau bersabar menjemput rezekinya dengan cara halal.”
Kemudian, abah berjalan mendahuluiku menuju pedagang pasar yang sudah melambai-lambai menantikan hasil tangkapan.
Pikiranku berkecamuk. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa kalau hari ini hanya Bang Togar yang curang, besok tidak ada yang meniru.
Ketika kebutuhan hidup meningkat, akan ada nelayan lain yang memilih jalan seperti bang Togar. Dan hal tersebut tidak boleh dibiarkan.
Tawar-menawar antara pedagang pasar dan abah berlangsung cepat. Abah menerima beberapa lembar uang limapuluh ribuan setelah terjadi kesepakatan.
Inilah saat yang paling ditunggu. Abah memberikan separuh uang yang beliau peroleh padaku,
“Untuk membayar uang sekolah.” ujar abah.
“Abah, apakah Hikam harus sekolah setinggi-tingginya?” tanyaku. Aku tidak berani menatap abah. Kakiku menyaruk-nyaruk pecahan kerang di atas pasir.
“Tentu saja! Kalau perlu, merantaulah yang jauh agar ketika kau pulang, Hikam, alih-alih menjadi pegawai pemerintah, kau bisa menjadi orang besar!” ujar abah berapi-api.
“Abah, Hikam ingin menjadi nelayan, meneruskan Abah.” ujarku lirih. Abah tersentak.
“Apa yang bisa kau banggakan dari seorang nelayan, Hikam? Jika diberi pilihan, abahmu akan memilih tinggal di kota, menjadi kuli atau pedagang ketimbang nelayan. Kau tau, sekalipun laut kita kaya, namun perjuangan untuk mendapatkannya bertaruh nyawa! Kau tidak tau bahaya apa yang sedang menunggu di tengah laut sana, angin apa yang akan menghempaskan perahumu, atau makhluk laut seperti apa yang akan merusak kapalmu!” Abah menjelaskan dengan nada tinggi.
“Laut terlalu berbahaya untukmu, Hikam.” nada bicaranya merendah. Tanpa menoleh sedikit pun, abah berjalan meninggalkanku.
Koda
Sejak kejadian pagi tadi, aku dan abah belum bertegur sapa. Sepertinya abah kecewa padaku.
Sudah beberapa kali aku mengungkapkan pada beliau bahwa aku ingin meneruskan pekerjaannya.
Aku belum mengatakan alasan yang sebenarnya. Tapi sore ini aku harus memberanikan diri untuk bicara pada abah, apapun yang terjadi.
“Abah” ujarku pelan sambil menaruh kopi panas di samping abah. Beliau sibuk memutar-mutar antena radio.
“Katakan saja, abah akan mendengarnya.” Abah seakan mengerti kegundahanku.
“Abah, bukankah kalau kita hidup, tidak boleh sekadar hidup?” tanyaku mengawali pembicaraan. Abah mengangguk.
Beliau yang menyampaikan nilai-nilai kehidupan padaku, bahwa kehidupan yang sekali ini harus memberi manfaat, “Hikam merasa akan lebih bermanfaat jika seperti abah, menjadi nelayan.” aku tertunduk.
“Dapatkah Kau jelaskan alasan keinginanmu itu, Hikam?” tanya abah lirih. Aku menatap ke arah jendela. Bang Togar masih sibuk mengurus ikan-ikannya.
Ketika salah satu perahunya datang, perahu yang lain menyusul. Perahu-perahu tersebut tidak pernah kekurangan muatan.
Bahkan, terkadang hampir oleng karena ikan hasil tangkapannya nyaris meloncat keluar perahu.
Pantaslah bang Togar dijuluki juragan ikan, “Kau ingin seperti bang Togar? Siang malam mengurus ikan, menumpuk-numpuk kekayaan, meminjamkannya pada penduduk sekitar dan meminta bunga yang tinggi?”
Aku menggeleng kuat, “Tidak, Abah. Hikam kasihan pada laut kita. Laut yang menjadi sumber penghidupan kita, laut yang membesarkan Hikam.”
Abah tersenyum simpul, “Beberapa hari ini, guru agama Hikam memberikan pelajaran penting. Manusia semakin serakah. Tidak hanya daratan yang dirusak, lautan pun ikut dirusak.”
Aku kembali mengarahkan pandangan ke arah jendela, memandangi bang Togar dan anak buahnya yang sedari tadi tak kunjung selesai mengangkut ikan.
Beberapa bahkan tampak terlihat memanggul terumbu karang, “Kata guru agama Hikam, ada sebuah ayat yang menceritakan kerusakan lautan.” ujarku sambil menirukan nada bicara guru agama.
“Sejak kecil Hikam tinggal di pesisir, dibesarkan abah disini, dengan laut kita.” aku melirik ke arah abah yang masih mendengarkan ceritaku dengan saksama.
“Abah, Hikam merasa punya tanggung jawab untuk menjaga laut kita. Kalau Hikam jadi pegawai pemerintah, Hikam akan tinggal di kota. Lantas, siapa yang akan peduli pada keadaan pantai dan laut yang menghidupi Hikam belasan tahun lamanya? Hikam tidak iri dengan bang Togar, Abah. Tapi abah bisa melihat betapa bang Togar menghalalkan segala cara untuk memperbesar usahanya, termasuk merugikan lautan. Mungkin saat ini hanya bang Togar dan anak buahnya yang merusak, tapi nanti ketika orang-orang semakin terdesak karena kebutuhannya yang semakin banyak, akan ada bang Togar lain yang lahir, dan Hikam takut, tidak ada yang dapat menghentikan mereka. Semua sibuk memenuhi kebutuhan pribadinya masing-masing. Mereka akan lupa dengan laut yang juga ingin dijaga.”
Abah terdiam, “Apakah tekadmu sudah bulat, Hikam? Kau tidak akan menyesal, harus bergulat dengan dinginnya angin laut yang menusuk tulang, ganasnya ombak di laut lepas, dan berbagai macam hal tidak terduga lainnya?” tanya abah meyakinkan.
“Insya Allah tidak, Abah. Hikam akan berusaha menjadi manusia yang bermanfaat dengan cara ini. Hikam akan belajar lebih giat lagi untuk membawa pengetahuan baru bagi warga pesisir Kalongan. Semoga dengan pilihan Hikam meneruskan pekerjaan abah, tidak ada bang Togar lain di kampung ini.”
Abah memelukku erat, “Abah bangga padamu, Hikam.”
“Abah, maaf kalau Hikam membuat abah kecewa.” aku menatap abah dalam-dalam, “Tidak semua air harus menjadi hujan, kan, Abah? Ada yang langsung dimanfaatkan, ada yang terserap ke tanah, ada pula yang terbuang. Barangkali Hikam tidak menjadi hujan, seperti kebanyakan, tapi Hikam akan berusaha seperti air yang dapat langsung dimanfaatkan. Bukan air yang terbuang.”
“Selamat memperjuangkan laut kita, Hikam. Berlayarlah. Abah mengijinkanmu,” abah menutup pembicaraan sambil menyerahkan radio tuanya, “Untuk teman melaut.”
“Hikam siap berlayar siang-malam, Abah!” ujarku menirukan gerakan hormat.
Dan sore itu suasana menjadi syahdu. Tekadku semakin kuat untuk belajar lebih giat.
Ada perahu-perahu yang hanya mengandalkan lautan untuk mencari rezeki, tapi ada hal yang lebih penting: ada masa depan lautan yang harus diperjuangkan.
Sinopsis:
Menjadi Nelayan merupakan cerpen yang bercerita tentang Hikam, anak nelayan yang ingin meneruskan pekerjaan abahnya sebagai nelayan pula.
Hikam dan abahnya mengalami masalah ekonomi, apalagi saat itu laut sedang tidak baik-baik saja. Namun, kondisi segera membaik dan abah bisa melaut.
Abah selalu berusaha menyekolahkan Hikam agar bisa menjadi PNS dan tidak berakhir sebagai nelayan.
Namun, Hikam menolaknya dan membuktikan bahwa ia benar-benar serius bertekad jadi nelayan.
Tujuan Hikam baik, yaitu untuk menjaga agar lautnya tetap lestari dan ia ingin menjadi orang yang bermanfaat sebagai nelayan.
Penutup
Demikian informasi terkait contoh cerpen beserta sinopsis dan strukturnya lengkap yang bisa kamu jadikan acuan saat menulis cerpen.
Masih ada contoh-contoh cerpen singkat menarik untuk dijadikan ide penulisan.
Jangan lupa memerhatikan struktur penulisan cerpen agar hasil cerpen buatanmu bagus dan layak dibaca.
Selain itu, kamu bisa melakukan riset sebelum menulis cerpen karena cerita yang menarik tetap perlu mempertimbangkan aspek logis.
Jika kamu ingin menguji pemahamanmu tentang cerpen, kamu juga bisa mengerjakan contoh soal tentang cerpen di blog Mamikos, ya!
Dapatkan informasi dan artikel lain terkait cerpen di blog Mamikos. Selain itu, ada pula artikel hiburan tentang film, mata pelajaran, perkuliahan, dan kehidupan anak kost.
Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idamanmu: