Contoh Ijma dan Qiyas dalam Kehidupan Sehari-hari beserta pengertiannya
Contoh Ijma dan Qiyas dalam Kehidupan – Ijma dan qiyas adalah dua sumber hukum Islam yang penting setelah Al-Quran dan Hadits.
Keduanya digunakan untuk menetapkan hukum Islam pada suatu kasus yang tidak ada nash (ketentuan) yang mengaturnya secara langsung.
Berikut adalah contoh ijma dan qiyas dalam kehidupan sehari-hari yang biasa ditemui.
Pengertian dan Syarat-Syarat Ijma
Daftar Isi
Daftar Isi
Ijma secara bahasa berarti “kesepakatan”.
Dalam konteks hukum Islam, ijma diartikan sebagai kesepakatan para mujtahid (ahli hukum Islam) pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW tentang suatu hukum syara’.
Ijma terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
- Ijma Shuhud: Ijma yang terjadi pada masa sahabat Nabi Muhammad SAW.
- Ijma Tabi’in: Ijma yang terjadi pada masa tabi’in (generasi setelah sahabat).
- Ijma Mujtahidin: Ijma yang terjadi pada masa mujtahid (ahli hukum Islam) secara umum.
Syarat-syarat Ijma
Untuk dianggap sah dalam menetapkan hukum, ijma harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama di bidang ilmu Ushul Fiqh.
Mari bahas secara lebih mendalam tentang syarat-syarat ijma yang dimaksud:
1. Kesepakatan Harus Terjadi Setelah Wafatnya Nabi Muhammad SAW
Ijma tidak dapat digunakan untuk menetapkan hukum yang sudah dijelaskan secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW, baik melalui perkataan (hadits), perbuatan (sunnah), maupun ketetapan (taqrir).
Hal ini karena Nabi Muhammad SAW sendiri diyakini sebagai sumber hukum Islam yang paling utama, dan tidak ada kesepakatan yang dapat membatalkan atau mengubah apa yang telah beliau sampaikan.
2. Kesepakatan Dilakukan oleh Para Mujtahid
Hal yang dimaksud dengan mujtahid dalam konteks ijma adalah orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan ijtihad (penggalian hukum Islam dari sumber-sumbernya).
Kualifikasi ini mencakup keahlian mendalam dalam ilmu-ilmu Islam, seperti bahasa Arab, tafsir (penafsiran Al-Quran), hadits, fikih (hukum Islam), dan ushul fiqh (metodologi penggalian hukum Islam).
3. Kesepakatan Harus Terjadi atas Suatu Hukum Syara’
Ijma hanya berlaku untuk menetapkan hukum syara’, yaitu peraturan dan ketentuan yang mengatur perilaku dan kehidupan manusia yang bersumber dari Allah SWT.
Ijma tidak bisa digunakan untuk menetapkan hal-hal yang bersifat duniawi atau tidak berkaitan dengan ibadah dan muamalah (hubungan sosial) manusia.
4. Kesepakatan Harus Terjadi secara Sukarela dan Tidak Ada Paksaan
Kesepakatan para mujtahid haruslah terjadi secara sukarela dan tidak ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun.
Ini karena ijma yang didasarkan pada paksaan atau tekanan tidak dianggap sebagai kesepakatan yang sah.
5. Kesepakatan Harus Dikenal dan Diterima oleh Umum (I’lam al-Ummah)
Para ulama berbeda pendapat mengenai syarat ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa kesepakatan para mujtahid harus diketahui dan diterima secara umum oleh umat Islam.
Sedangkan, sebagian lainnya berpendapat bahwa ijma tetap sah meskipun belum diketahui secara umum.
6. Kesepakatan Harus Membahas Permasalahan yang Sama (Waq’u al-Ittifaq ‘ala Mas’alah Wahidah)
Para mujtahid yang berijma harus membahas dan memberikan kesepakatan mereka terhadap permasalahan yang sama.
Kesepakatan yang tidak fokus pada satu permasalahan yang spesifik tidak dianggap sebagai ijma yang sah.
7. Kesepakatan Harus Berlanjut hingga Masa Berikutnya (Tawatir)
Beberapa ulama berpendapat bahwa ijma harus terus berlangsung dan diterima oleh para mujtahid pada masa selanjutnya.
Kondisi ini dikenal dengan istilah tawatur, yaitu keadaan dimana suatu informasi disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi dan tidak diragukan lagi kebenarannya.
Syarat-syarat ijma di atas masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Beberapa poin seperti “I’lam al-Ummah” dan “Tawatir” masih memiliki perbedaan pendapat.
Secara umum, syarat-syarat yang disebutkan di atas memberikan gambaran tentang kriteria kesepakatan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam dalam ajaran Islam.
Pengertian dan Syarat-Syarat Qiyas
Qiyas secara bahasa berarti “mengukur”.
Dalam konteks hukum Islam, qiyas diartikan sebagai menyamakan suatu kasus yang tidak ada nashnya dengan kasus yang sudah ada nashnya berdasarkan kesamaan illat (alasan hukum).
Qiyas terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
- Qiyas Jali: Qiyas yang mudah dipahami dan illatnya jelas.
- Qiyas Khafi: Qiyas yang sulit dipahami dan illatnya tidak jelas.
Syarat-syarat Qiyas
Untuk memastikan bahwa penerapan qiyas wajar dan tepat, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, berikut adalah detail mengenai syarat-syarat Qiyas.
1. Adanya Kasus yang Belum Ada Nash Hukumnya (Masail Mujmalah)
Syarat pertama qiyas adalah adanya suatu kasus baru yang belum ada ketentuan hukumnya secara langsung di dalam Al-Quran, Hadits, maupun ijma’.
Ini adalah kondisi dimana hukum bagi suatu permasalahan belum ditetapkan secara eksplisit dalam sumber-sumber hukum primer Islam.
2. Adanya Kasus yang Sudah Ada Nash Hukumnya (Masail Mufassalah)
Syarat kedua adalah adanya kasus yang sudah ditetapkan hukumnya secara jelas dalam Al-Quran, Hadits, atau ijma’.
Kasus ini disebut ashl (pokok) dalam qiyas, dan hukum yang sudah ada tersebut akan dipindahkan ke kasus baru (far’u/cabang) yang belum ada nashnya, dengan syarat terdapat kesamaan illat di antara keduanya.
3. Kesamaan Illat (Alasan Hukum)
Ini merupakan syarat yang paling penting dalam qiyas. Illat adalah alasan atau hikmah (kebijaksanaan) di balik ditetapkannya suatu hukum pada kasus yang sudah ada nashnya (ashl).
Qiyas dapat diterapkan pada suatu kasus baru (far’u) jika terdapat kesamaan illat antara keduanya. Misalnya, illat diharamkannya khomr (minuman keras) adalah karena memabukkan.
Qiyas diterapkan pada kasus narkoba karena memiliki illat yang sama, yaitu memabukkan.
4. Kejelasan Illat (Qath’iyyat al-Illat)
Para ulama mensyaratkan bahwa illat dalam qiyas harus bersifat qath’i, yakni jelas dan pasti.
Hal ini bertujuan untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam menentukan kesamaan illat dan mencegah penerapan qiyas yang tidak berlandaskan pada alasan hukum yang kuat.
5. Penetapan Hukum Ashl Masih Berlaku (Huqmu al-Ashl Baaqin)
Syarat ini mengharuskan bahwa hukum yang sudah ada pada kasus ashl (pokok) masih tetap berlaku dan tidak dihapuskan.
Qiyas hanya memindahkan hukum tersebut ke kasus baru (far’u) karena adanya kesamaan illat, dan bukan berarti membatalkan atau mengubah hukum yang sudah ada.
6. Tidak Ada Nash yang Menghalangi Qiyas (Adamin Naqdh)
Qiyas tidak dapat diterapkan jika terdapat nash (ketentuan hukum) yang secara khusus melarang atau membatalkan penerapan qiyas pada suatu kasus tertentu.
Ini bertujuan untuk memastikan bahwa qiyas tidak menjadi alat untuk menentang atau mengabaikan ketentuan yang sudah ada dalam Al-Quran, Hadits, atau ijma’.
Syarat-syarat qiyas di atas menjadi panduan para ahli hukum Islam (mujtahid) dalam melakukan proses qiyas.
Penerapan qiyas membutuhkan keilmuan dan kehati-hatian yang mendalam untuk memastikan bahwa hukum yang dihasilkan sesuai dengan ajaran Islam dan tujuan syariat.
Contoh Ijma dan Qiyas dalam Kehidupan Sehari-hari
Contoh Ijma
1. Hukum haramnya meminum khamr (minuman keras)
Para ulama di seluruh dunia sepakat bahwa meminum khamr adalah haram.
Kesepakatan ini tercipta sejak zaman sahabat Nabi Muhammad SAW dan tidak ada yang berbeda pendapat.atau mengabaikan ketentuan yang sudah ada dalam Al-Quran, Hadits, atau ijma’.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat bahwa semua umat Islam di seluruh dunia tidak ada yang minum khamr.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang hukum haramnya khamr.
2. Kewajiban shalat lima waktu
Para ulama sepakat bahwa shalat lima waktu adalah wajib bagi setiap muslim yang baligh dan berakal sehat.
Kesepakatan ini didasarkan pada banyak ayat Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Ketika waktu shalat tiba, kita melihat bahwa umat Islam berbondong-bondong pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat lima waktu.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu.
3. Zakat fitrah
Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu.
Kesepakatan ini didasarkan pada Hadits Nabi Muhammad SAW dan telah dipraktikkan oleh umat Islam sejak zaman sahabat.
Pada bulan Ramadhan, kita melihat bahwa umat Islam berbondong-bondong membayar zakat fitrah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang kewajiban zakat fitrah.
Contoh Qiyas
1. Hukum haramnya narkoba
Narkoba diharamkan karena memiliki illat yang sama dengan khomr (minuman keras), yaitu memabukkan.
Qiyas tersebut dilakukan atas dasar kesamaan illat dan telah diterima oleh banyak ulama.
Ketika ada jenis narkoba baru yang muncul, para ulama langsung mengharamkannya karena memiliki illat yang sama dengan khomr, yaitu memabukkan.
2. Hukum haramnya riba
Riba diharamkan karena memiliki illat yang sama dengan memakan harta orang lain dengan batil.
Qiyas dilakukan berdasarkan kesamaan illat dan telah disepakati oleh para ulama.
Ketika ada bank yang menawarkan sistem bunga, para ulama langsung mengharamkannya karena memiliki illat yang sama dengan riba, yaitu memakan harta orang lain dengan batil.
3. Kewajiban menutup aurat
Kewajiban menutup aurat bagi wanita diqiyaskan dengan kewajiban menutup aurat bagi pria.
Qiyas ini dilakukan berdasarkan kesamaan illat, yaitu menjaga kesopanan dan menghindari fitnah.
Ketika ada wanita yang tidak menutup aurat, para ulama mengingatkannya tentang kewajiban menutup aurat karena memiliki illat yang sama dengan kewajiban menutup aurat bagi pria, yaitu menjaga kesopanan dan menghindari fitnah.
Ijma dan qiyas merupakan dua sumber hukum Islam yang penting dalam kehidupan sehari-hari.
Ijma adalah kesepakatan para ulama tentang suatu hukum, sedangkan qiyas adalah proses menyamakan suatu kasus yang belum ada nashnya dengan kasus yang sudah ada nashnya.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana ijma dan qiyas diterapkan dalam kehidupan nyata.
Demikian pembahasan mengenai contoh ijma dan qiyas dalam kehidupan sehari-hari beserta pengertiannya. Semoga bermanfaat.
Klik dan dapatkan info kost di dekat mu: