Contoh Sudut Pandang Orang Pertama, Orang Kedua, Orang Ketiga, dan Campuran dalam Cerpen
Apakah kamu sudah bisa membedakan contoh sudut pandang orang pertama, kedua, dan ketiga pada suatu cerpen? Simak contoh-contohnya berikut.
Contoh Sudut Pandang Orang Pertama, Orang Kedua, Orang Ketiga, dan Campuran dalam Cerpen – Pernahkah kamu membaca cerita pendek?
Pada cerita tersebut, terdapat gaya bercerita dengan sudut pandang orang pertama, orang kedua, orang ketiga, bahkan campuran.
Yuk, simak ulasan selengkapnya tentang contoh sudut pandang orang pertama, orang kedua, orang ketiga, dan campuran dalam cerpen berikut ini!
Contoh-contoh Sudut Pandang dalam Cerpen
Daftar Isi [hide]
Saat membaca cerita pendek, seseorang bisa merasa terlibat dalam cerita tersebut dan merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh.
Namun, perlu kamu ketahui bahwa gaya bercerita satu penulis dengan penulis lainnya akan berbeda.
Kamu bisa saja menjumpai adanya gaya penulisan cerpen dengan sudut pandang orang pertama.
Tapi, bukan tidak mungkin jika ada pula cerpen dengan sudut pandang orang kedua, atau bahkan orang ketiga yang akan membuat cerita semakin menarik.
Advertisement
Agar kamu mendapatkan referensi terkait gaya bercerita dengan berbagai sudut pandang, simak artikel mengenai contoh-contoh sudut pandang dalam cerpen berikut ini.
Contoh Sudut Pandang Orang Pertama dalam Cerpen
Cerita pendek yang ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama akan memposisikan diri penulis sebagai orang yang berperan sebagai tokoh pada cerpen atau sebagai tokoh “aku”.
Contoh Cerpen dengan Sudut Pandang Orang Pertama
Siang ini, matahari bersinar sangat terik. Aku tidak tahu apakah ibu akan mengampuniku jika tahu nilai ulangan kali ini tidak 100.
Sinar matahari yang semakin menyengat kulit seakan mewakilkan kemarahan ibu.
Minggu lalu aku memang sudah berjanji akan mendapatkan nilai sempurna di ulangan matematika, apalagi aku yakin jika ulangan kali ini belajarku lebih baik.
Bahkan, aku sampai meminjam buku catatan kakak kelas dan mencari sumber bacaan lain di perpustakaan.
Sayangnya, nasib baik sedang tidak berpihak padaku. Soal ulangan yang keluar justru jauh dari apa yang sudah diajarkan.
“Untuk persiapan masuk SMP,” jelas Pak Toha, guru matematika pagi tadi sebelum memulai ulangannya.
Aku sibuk merutuk dalam hati, “Kenapa tidak bilang jauh-jauh hari kalau ulangannya akan jauh berbeda dari materi yang diajarkan? Apa murid di kelas ini mau dijadikan kelinci percobaan?”
Sekalipun aku mengumpat, Pak Toha tidak akan mungkin mendengar pun berubah pikiran. Beliau bahkan tidak tahu akan ada gagang sapu yang menyambutku saat di rumah nanti.
Aku menghela napas panjang. Berharap menjadi Ria, teman sekelasku yang mempunyai ibu berhati sangat lembut. Setidaknya itu yang kulihat.
Tidak pernah sekalipun ia dimarahi ibunya meskipun nilainya hanya 20.
Pernah kucuri dengar dari ibunya saat membelai kepala Ria, “Yang penting sudah berusaha. Nilai bukan masalah. Maksimalkan saja kemampuanmu di bidang yang lain,”.
Sungguh beruntung sekali Ria.
Andaikan aku bisa bertukar ibu, pasti akan sangat menyenangkan. Apalagi kalau ibuku yang ini tiba-tiba hilang saja. Pasti akan menyenangkan.
Tidak ada lagi kenangan pulang sekolah tanpa dijemput dengan jarak berkilo-kilo meter, tapi kemudian disambut dengan makian dan omelan. Melelahkan sekali.
Hampir satu jam perjalanan kutempuh, kini aku sudah berada di depan pintu. Aku mengetuk pelan, tanpa tenaga. Kutunggu semenit. Dua menit. Tidak ada suara.
Kutarik gagang pintu yang sudah berkarat. Aku terkesiap. Ibu terkapar di lantai dengan wajah pucat pasi, “Ibu…!!!!” teriakku.
Aku berharap bisa menarik doaku yang tadi pada Tuhan.