Disrupsi Pendidikan ala Jokowi dan Mas Nadiem

Posted in: Pendidikan
Tagged: pendidikan

Disrupsi Pendidikan ala Jokowi dan Mas Nadiem – Dulu saya terkaget-kaget saat Jokowi memilih Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan. Setahu saya, Menteri Pendidikan selalu diisi oleh Guru Besar atau Rektor ternama. Mas Nadiem ini sambungannya apa dengan dunia pendidikan. Dia magister bisnis yang kemudian memilih membangun startup Gojek. Dunia e-commerce yang membutuhkan dukungan IT. Artinya, Mas Nadiem ini orang yang ‘tidak jelas’. Sekolahnya apa, keahliannya apa, kerjanya apa. Hampir tidak nyambung sama sekali. 

Disrupsi Pendidikan ala Jokowi dan Mas Nadiem

www.dikti.kemdikbud.go.id

Lalu, apakah selama ini Mas Nadiem ini memiliki waktu khusus merenungi dunia pendidikan di tanah air? Rasanya tidak. Bukankah membangun start-up itu membutuhkan hari-hari tidak tidur? Kerja belasan hingga puluhan jam sehari? Apa yang ingin Jokowi bagikan dari Mas Nadiem?

Empat Perjalaan Praduga Saya

Pertama, yang mampir ke pikiranku adalah prasangka buruk. Jangan-jangan, Pilpres 2019 kemarin ‘tidak ada’ Profesor yang benar-benar mendukung Jokowi. TKN Jokowi sendiri yang menyatakan 72% PNS memilih Prabowo-Sandi. Kemudian, Jokowi ingin memberikan semacam teguran kepada ‘anak buah’ yang tidak memilih ‘bapaknya’. Tentu saja, ini hanya lintasan dugaan yang lebih banyak omong kosongnya.

Kedua, saya sendiri tersadar bahwa saat membaca portal berita yang menulis ketertinggalan, ketimampangan dan ironi dalam dunia pendidikan kita, saya sering terhanyut sesaat. Semisal skor numerik dan literasi kita yang disalip Malaysia, Thailand dan Vietnam hingga berita perundungan dan tawuran antar siswa yang memalukan. Nah, saya yakin Mas Nadiem yang tentu saja hobi membaca buku berlipat-lipat dari saya memiliki keprihatinan serupa. Bukan hanya keprihatinan, mungkin konsep-konsep pendidikan. 

Bukankah saya pernah menjadi siswa dan mahasiswa. Setiap kita terhubung dengan dunia pendidikan. Termasuk Mas Nadiem yang memiliki pengalaman pendidikan di Jakarta, Singapura dan Amerika Serikat. Dia melihat wajah dan budaya pendidikan di negara yang berbeda sejak remaja. 

Ketiga, saya teringat dengan drama penghapusan UN yang ditentang keras oleh Jusuf Kalla. Apakah ‘semua’ profesor juga sepakat dengan Jusuf Kalla, sehingga Jokowi memilih orang lain yang berani menghapus UN? Kemudian, yang saya tahu UN benar-benar dihapus oleh Mas Nadiem, kemudian menggantinya dengan Assesment Nasional (AN) mulai tahun 2021 ini. AN hanya memetakan tingkat penguasaan siswa di bidang numerik dan literasi. Sama sekali, tidak ada hubungannya dengan kelulusan sekolah. Ingat, bukan ujian hanya assesment. 

Keempat, saya bertanya-tanya apakah siswa dan mahasiswa model Mas Nadiem ini yang dinilai Jokowi berhasil? Mungkin iya. Akhir-akhir ini, jokowi mengulang-ulang kritiknya terhadap kurikulum di perguruan tinggi? Misalnya, dia menyebut mahasiswa seharusnya dididik dengan kurikulum industri, bukan kurikulum dosen. Pernyatan lainnya, prodi kok tidak berubah padahal industri telah berubah. 

Puncaknya, menurut saya, pada pertemuan Forum Rektor di Solo pada bulan Juli lalu. Jokowi mencontohkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang kuliah di prodi Teknik Fisika Nuklir ITB, kemudian memilih menjadi bankir hingga menjabat Dirut Utama Bank Mandiri, dan sekarang menjadi Menteri Kesehatan. Sama dengan Mas Nadiem, tidak nyambung. Saya juga sadar, bukankah Jokowi juga demikian? 

Di luar kampus, dunia kerja sama sekali tidak linear dengan prodi. Linearitas prodi itu hanya ada di kampus, di dunia para dosen. Bahkan, di dunia guru, sarjana apapun bisa menjadi pendidik. Mungkin, hanya dokter yang tidak memilih melompat keluar dari dunia kesehatan. Tapi, lagi-lagi Jokowi menyebut seharusnya ada mata kuliah robotik di Fakultas Kedokteran. Sekali lagi saya sadar, bahwa mengganti ruang produksi mobil yang dilakukan Tesla dengan ‘sepenuhnya’ robot jauh lebih sulit daripada merancang alat-alat kedokteran yang dikendalikan oleh robot. 

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Saya yakin Jokowi tidak asal memilih Mas Nadiem. Dia memiliki konsep besar dan ambisius mendisrupsi dunia pendidikan nasional. Pendidikan kita harus berubah total. Jokowi belajar dari ‘ide kecil’ menghapus UN yang terganjal suara lantang Wapres-nya sendiri. Padahal, perubahan yang diinginkan Jokowi jauh lebih mencengangkan dari itu. 

Disrupsi Kampus Merdeka

Itu bukan konsep. Namun program sepenuh hati seperti keteguhan hati Jokowi memindahkan ibu kota ke Kalimantan. Mas Nadiem benar-benar membuat geger kampus di semester gasal tahun 2021 ini. Dia benar-benar meluncurkan program MSIB (Magang dan Studi Independen Bersertifikat) yang membuat para kaprodi harus menyesuaikan gelombang pemikirannya dengan Mas Menteri. 

Begini melalui website kampus merdeka, mahasiswa dipesilakan melamar program MSIB di perusahaan-perusahaan nasional dan internasional. Sebenarnya, bukan hanya MSIB, ada juga program pertukaran pelajar internasional, guru mengajar, dan program lainnya yang belum dibuka. Nah, Mas Nadiem menjanjikan, memutuskan dan memerintahkan semua program tersebut mendapatkan konversi 20 SKS per semester. Jika magangnya atau guru mengajarnya satu tahun, mahasiswa tidak perlu mengambil mata kuliah 40 SKS.  Bukan itu saja, mahasiswa mandapat biaya hidup selama mengikuti program kampus merdeka. Tidak kuliah dan dapat uang saku lumayan.

Nah, persoalannya program ini lintas prodi. Misalnya, ada mahasiswa Sastra Rusia mengikuti Studi Independen tentang kemanan jaringan komputer, dia akan mendapat konversi 20 SKS. Bagaimana menyambungkan dua studi yang berbeda ini? Bebas saja, silakan di konversi dengan mata kuliah yang ada. Toh, di kehidupan nyata, insinyur bisa menjadi bankir. Dan Mas Nadiem memberikan warning lewat para rektor, kepada para kaprodi yang masih kebingungan dengan persoalan konversi SKS ini. 

Bukan 40 SKS, mahasiswa di zamannya Mas Nadiem boleh mengambil 60 SKS di luar prodinya. Hitunganya 40 SKS di luar kampus, seperti program kampus merdeka yang langsung difasilitasi Kementerian Pendidikan di atas. Ditambah lagi, mahasiswa berhak belajar 20 SKS di prodi berbeda dalam satu kampus yang sama. Jadi, tambah berat  bukan pekerjaan para rektor?

Lalu, bukankah mahasiswa akan kehilangan kompetensi prodinya jika mengambil 60 SKS yang tidak terhubung dengan prodinya? Tampaknya Jokowi ingin memfasilitasi mahasiswa yang baru dan benar-benar menemukan passion-nya sangat berada di tengah dan akhir kuliah. Mahasiswa yang merasa salah jurusan kemudian mengalami burning out jangan sampai tidak lulus. Fasilitasi apa yang ingin mereka pelajari. Kira-kira begitu kata pak Jokowi. Titik tekannya yang dikehendaki Jokowi, terlahirnya generasi hybrid. Generasi yang siap belajar apapun, kapanpun dan di manapun. Mahasiswa hybrid inilah nantinya yang menjadi penopang revolusi teknologi yang excited sekaligus menakutkan ini. 

Toh, program ini terbatasi oleh kapasitas. Tahun 2021, ada 13 ribu peserta MSIB dari jutaan mahasiswa. Maksud Mas Nadiem, biarkan saja 1%, 2% mahasiswa kita menjadi lulusan tak biasa. Karena sebentar lagi, kita akan melihat kehidupan tak biasa pula. Mobil listrik otonom mulai beriklan di TV. Kita sebentar lagi hidup bersama robot. IOT (Internet Of Things), internet yang terhubung dengan peralatan keseharian kita akan segera membanjiri pasar. 

Program besar Mas Nadiem adalah kampus kawin dengan industri. Karena beberapa industri IT mengeluh tak menemukan talenta yang mereka cari setelah mewancarai ratusan mahasiswa pilihan. 

Lalu, apa kabar perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama, akankah Gus Yaqut akan mengikuti Mas Nadiem? 

Kontributor : Arif Purwanto


Klik dan dapatkan info kost di dekatmu:

Kost Jogja Harga Murah

Kost Jakarta Harga Murah

Kost Bandung Harga Murah

Kost Denpasar Bali Harga Murah

Kost Surabaya Harga Murah

Kost Semarang Harga Murah

Kost Malang Harga Murah

Kost Solo Harga Murah

Kost Bekasi Harga Murah

Kost Medan Harga Murah