Menengok Gradasi Ke-Nyinyir-an Kita
Menengok Gradasi Ke-Nyinyir-an Kita – Maido merupakan salah satu ciri kebudayaan masyarakat Indonesia. Maido yang berasal dari bahasa Jawa diartikan sebagai bahasa nyinyir, kritik, serta ekspresi ketidakpuasan maupun ketidakterimaan seseorang terhadap kejadian yang dialaminya. Hal ini menunjukkan ekspresi mental serta verbal kemanusiaan yang alami dimiliki oleh manusia.
Secara filosofis, maido adalah naturalitas kemanusiaan. Wajar jika manusia merasa tidak puas dan tidak terima terhadap kejanggalan-kejanggalan yang dialaminya. Orang harus bertindak atau mengingatkan ketika ada ketidakadilan yang terjadi. Adil dalam agama yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika ada yang tidak tepat penempatannya, wajib bagi kita untuk membetulkannya. Tentunya dengan cara yang baik dan tepat.
Namun perlu kita cermati berbagai jenis maido. Karena tidak semua maido ataupun kenyinyiran itu dapat diterima. Ada beberapa aspek tentunya yang mempengaruhi maido itu dikatakan ideal, ataupun maido dikatakan sebagai “ketidakberesan baru”. Jangan sampai seseorang seolah ingin merubah ketidakadilan namun dengan cara yang tidak adil.
Salah seorang sastrawan legendaris awal kemerdekaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah berkata dalam bukunya yang berjudul Bumi Manusia, “Seorang terpelajar adalah dia yang senantiasa berlaku adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan”. Artinya adil bukan hanya perkara yang terlihat. Adil juga dimulai dari sesuatu yang tidak terlihat, yaitu pikiran, perasaan serta kemauan kita sebagai manusia.
Maidopun memiliki gradasi keadilan. Ada maido yang berbobot serta konstruktif, namun juga ada maido yang ecek-ecek, alias tidak berbobot dan childish. Pesan maido akan terlihat dari apa yang diucapkannya. Bahkan cara maido seseorang sebenarnya menunjukkan kualitas hidup serta kedalaman berpikirnya.
Pelaku nyinyir dikatakan tidak beres dan tidak berlaku adil jika nyinyir maupun maidonya ternyata membawa kesan dan pesan egoisme. Kritik yang dilontarkan malah terkesan menjatuhkan orang yang dituju tanpa ada muatan membangun kesadaran. Ciri maido ini adalah maido yang kekanak-kanakan. Karena sama sekali tidak menguntungkan banyak orang melainkan hanya untuk kepuasan hasratnya semata. Malahan, maido jenis ini menunjukkan bahwa orang tersebut sebenarnya adalah orang yang rendah derajat dan ilmunya.
Jenis maido lainnya adalah maido yang adil dan konstruktif. Maido pada level ini merupakan maido yang mulia. Karena jenis kritik yang dibawakan membawa muatan untuk kepentingan bersama. Selain itu pesan dan kesan yang disampaikan bertujuan untuk membangun kepentingan bersama meskipun terkadang bahasa yang digunakan cenderung menyakitkan. Maido ini laksana obat pahit yang memberi rasa tidak nyaman, tidak enak, tidak berselera dan nyeri sesaat namun menyehatkan jiwa dan raga. Cara maido tersebut menunjukkan tingkat kedewasaan serta kedalaman reflektifnya. Bahasa yang digunakan, serta ketajaman data menunjukan pula kualitas penyampainya.
Pada kenyataannya, banyak sekali masyarakat Indonesia yang berada gradasi pertama, yaitu maido yang masih kekanak-kanakan. Ego ditonjolkan daripada berfikir matang-matang. Kalimat atau tindakannya cenderung reaksionis. Pernah ada kejadian di suatu masjid, karena rasa iri seseorang terhadap rekannya yang seumuran (padahal sudah sama-sama berusia kakek-kakek), seorang jamaah sholat mencibir dan menuduh rekannya yang lain karena mengimami sholat. Beliau mengatakan bahwa rekannya ini mau merebut posisi imam yang sering mengimami mereka. Padahal posisi saat itu imam sholat tak kunjung hadir. Di waktu yang lain ketika sang imam dan rekannya yang dicibirnya ini tidak hadir, dia kebingungan sendiri karena tak ada yang mau mengimami. Agaknya para jamaah sholat tidak nyaman mengimami karena kalimat provokatif sang tukang paido tersebut. Akhirnya dia sendirilah yang jadi imam sholat dengan menelan kalimat reaksionis yang pernah diucapkannya. Usia seseorang terkadang tidak menjamin kedewasaannya.
Itu baru satu contoh. Masih banyak contoh konkrit paido yang cenderung childish atau kekanak-kanakan tersebut. Paido jenis ini walaupun populer dan diminati banyak orang, sebenarnya tidak akan membuat derajat orang yang bersangkutan naik. Karena pada dasarnya orang yang meremehkan orang lain dengan kesombongan yang berlandaskan egoisme, akan dihinakan secara natural oleh alam semesta. Saya curiga, jangan-jangan salah satu faktor bangsa Indonesia kalah jauh dalam pembangunan dan daya saingnya di dunia internasional karena adanya mental maido childish ini.
Berbeda dengan maido yang konstruktif dan adil. Biarpun jarang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, dengan semangat altruistik-nya (lawan dari egoistik) mental maido ini membawa kemaslahatan-kemaslahatan baru. Pikiran kritis mutlak diperlukan oleh negara demokrasi yang ingin maju. Penolakan terhadap kejumudan serta ketidakadilan adalah kunci meraih keberhasilan bersama. Bahkan agama mengajarkan untuk sombonglah di depan orang yang sombong, karena itu adalah bentuk dari sedekah. Jika ada kepemimpinan yang sombong, tidak masalah bagi warganya untuk memberikan kritikan yang pedas, selama kritik tersebut membangun dan membawa kepentingan bersama.
Mungkin, bisa jadi jika masyarakat kita ingin maju dan berdaya saing tinggi, kita perlu melakukan instropeksi besar-besaran pada cara kita mengekspresikan maido atau kalimat nyinyir. Senada dengan apa yang dikatakan Pram, mulailah adil dalam pikiran kita saat akan mengkritik sesuatu. Pertanyakan baik-baik, apakah kepuasan hasrat diri yang dibawakan? Atau kepentingan bersama? Jika ternyata jawabannya adalah egoisme, maka berpuasalah atau tahanlah paido chidis tersebut. Namun jika memang kita yakin, maido ini untuk kebaikan bersama, maka suarakanlah.
Kontributor: Hendrik Kurniawan Wibowo
Klik dan dapatkan info kost di dekatmu: