Hari Film Indonesia 30 Maret, Sejarah dan Perkembangan Film di Indonesia 2020

Hari Film Indonesia – Diperingati setiap tanggal 30 Maret, Hari Film Nasional selalu menjadi hari yang ditunggu-tunggu oleh setiap orang yang bergerak di industri film tanah air. Mengapa diperingati pada tanggal 30 Maret? Karena konon katanya, tanggal tersebut berkaitan dengan sebuah peristiwa bersejararah dalam dunia film Indonesia yakni pengambilan gambar pertama kali oleh sutradara Usmar Ismail dalam film “Darah dan Doa”. Di mana film tersebut merupakan film Indonesia pertama bercirikan Indonesia dengan segala lini diprakarsai oleh orang Indonesia sendiri. Sebelum kamu ikut merayakan Hari Film Nasional, kira-kira sudahkah kamu mengetahui sejarah hingga perkembangan film di Indonesia? Jika belum, berikut Mamikos sudah rangkum informasinya untuk kalian semua.

Menyambut Hari Film Indonesia, Berikut Ini Sejarah dan Perkembangan Film di Indonesia

dzsbjm4le70kx.cloudfront.net

 

Sejarah Film di Indonesia

Tahun 1900

Kemuculan film di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak tahun 1900. Hal ini ditandai dengan berdirinya bioskop pertama dengan nama “Gambar Idoep” (gambar hidup) di Kota Batavia (Jakarta) yang menayangkan berbagai film tanpa audio yang menyertainya. Pada masa itu, pemutaran film dianggap kurang sukses karena tarif karcisnya dianggap terlalu mahal. Tak lama setelahnya, harga karcis film pun dikurangi hingga 75% dengan tujuan ingin meningkatkan minat menonton rakyat Indonesia. Di awal perkembangnya, film ditayangkan dalam warna hitam putih, bisu (tanpa audio), dan sangat cepat. Hingga semakin lama semakin berkembang dan menyesuaikan sistem pengelihatan mata kita, berwarna, dan menggunakan berbagai efek untuk membuatnya agar terlihat lebih nyata.

Tahun 1926 – Tahun 1940-an

Lebih dari dua dekade setelahnya, pada 1926 bioskop “Gambar Idoep” memutar film lokal pertama yang bertajuk “Loetoeng Kasaroeng”. Film bisu ini disutradarai oleh orang Belanda, yakni G. Kruger dan L. Hueveldorp. Selanjutnya, di tahun 1928 para pekerja film dari Shanghai pun datang ke Indonesia dengan tujuan menggarap film berjudul “Lily Van Shanghai”. Meski menggunakan banyak aktor lokal, film-film pada masa itu mencerminkan dominasi Belanda dan Cina. Di era 1940-an ketika Jepang menjajah Indonesia, film pun kerap dijadikan sebagai alat propaganda politik oleh Jepang selama kurun waktu 7 tahun lamanya. Di masa tersebut film Indonesia pun tidak mendapatkan izin produksi karena hanya film politik Jepang dan film Indonesia lama saja yang diperbolehkan tayang.

Tahun 1945 – Tahun 1950-an

Sejak produksi pertama tahun 1926, produksi film Indonesia sebenarnya tak pernah mati. Hanya saja, produksi film di Indonesia sempat terhenti di tahun 1945 hingga tahun 1947. Namun, di tahun 1950-an perkembangan film di Indonesia pun mulai berkembang dan maju cukup pesat. Hal ini ditandai dengan diresmikannya bioskop Metropole yang merupakan bioskop termegah dan terbesar pada saat itu yakni tahun 1951.

Tahun 1951 – Tahun 1991

Tak hanya itu saja, perkembangan film di Indonesia bisa dikatakan berkembang juga karena dilakukannya pengambilan gambar film lokal karya anak bangsa pertama di Indonesia. Jika kita kilas balik, sebelum diresmikannya bioskop Metropole di tahun 1951 sudah ada pengambilan gambar film “Darah dan Doa (Long March of Siliwangi)” karya Usmar Ismail di tanggal 30 Maret 1950. Di mana film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang mengusung ciri Indonesia. Selain itu, film ini juga merupakan film pertama yang disutradarai orang Indonesia dan diproduksi oleh perusahaan film Indonesia, yakni Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) di mana Usman Ismail sendirilah pendirinya. Alhasil, konferensi Dewan Film Nasional dengan Organisasi Perfilman pada 11 Oktober 1962 pun menetapkan 30 Maret menjadi Hari Film Nasional. Keputusan ini diperkuat dengan terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional di era Presiden BJ Habibie.

Perlu diketahui, pada tahun 1955 merupakan tahun di mana terbentuknya Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI). Saat itu, selain PFN yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia yakni, Perfini dan Persari yang dipimpin oleh Djamaluddin Malik. Di tahun 1971 hingga 1991, produksi dilm Indonesia cukup meningkat pesat yakni berkisar antara 50 sampai 133 judul film setiap tahunnya meskipun pada waktu itu pemerintah dan pers pernah mematronkan paham bahwa industri film Indonesia mengalami mati suri.

Tahun 1992 – Tahun 2003

Sayangnya, rentang produksi tersebut turun drastis menjadi 3 hingga 35 judul film saja dalam setahun pada rentan waktu tahun 1992 sampai 2003. Data produksi film Lembaga Sensor Film (LSF) menjelaskan bahwa pada tahun 1994 ada 26 judul film yang diproduksi. Kemudian di tahun 1995 terdapat 22 judul, tahun 1996 meningkat jadi 34 film, di tahun 1997 sebanyak 32 film, di tahun 1998 hingga 1999 hanya ada 4 film. Menurunnya produksi film Indonesia di rentan tahun tersebut bukan tanpa alasan, karena pada masa tersebut negara kita tengah mengalami krisis ekonomi yang berlanjut krisis sosial-politik berujung pada jatuhnya Soeharto dari jabatan presiden. Peristiwa menyebabkan banyak akibat yang sangat terasa pada dunia produksi film Indonesia.

Perkembangan Film di Indonesia

Hari Film Nasional dianggap sebagai perayaan peringatan tonggak kreativitas sebagai penanda tuan rumah di negeri sendiri. Karena kini produksi film di tanah air tak hanya melibatkan sineas Jakarta saja karena di daerah-daerah pun produksi film lokal mulai tumbuh. Dalam waktu lima tahun terakhir (2019-2015), perkembangan film di Indonesia cukup membanggakan sejumlah sineas karena mendapatkan jumlah penonton bioskop mencapai 230 persen. Dari tahun ke tahunnya, pasar industri film di Indonesia memang memiliki pertumbuhan yang mencengangkan, baik dari sisi jumlah penonton, layar lebar, serta banyaknya film-film Indonesia yang ditonton oleh jutaan pemirsa.

Jumlah layar di studio juga memiliki pertumbuhan yang cukup cepat, yakni dari 800 layar lebar menjadi 1.800 layar dalam tempo 3 terakhir. Bahkan, Indonesia dikenal sebagai pasar untuk film-film box office terbesar ke-16 di dunia dengan nilai pasar US$ 345 juta atau sekitar Rp 4,8 triliun. Namun, jumlah layar tersebut masih sangat kurang, karena yang ideal untuk Indonesia dengan populasi 260 juta jiwa seharusnya 10 ribu screen. Yang tak kalah penting adalah semakin banyaknya film-film yang masuk box office Indonesia, ditonton oleh jutaan pemirsa. Belakangan ini tidak lagi terlalu sulit bagi film-film Indonesia mencapai target standar jumlah penonton sebanyak empat juta pemirsa.

Terlepas dari beberapa versi sejarah yang ada, Hari Film Nasional menjadi momen perayaan bagi perfilman Tanah Air. Hari ini menjadi bentuk apresiasi bagi dunia layar lebar dan mereka yang berkecimpung di dalamnya. Film tak lagi hanya sebagai hiburan, melainkan menjadi produk budaya yang tak jarang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Pantau terus info-info menarik lainnya seputar perfilman di Indonesia dan info lainnya hanya melalui situs blog Mamikos. Oh iya, untuk kalian yang membutuhkan informasi seputar sewa properti seperti kost-kostan hingga rumah kontrakan maka jangan lupa pula download aplikasi Mamikos. Di aplikasi Mamikos kamu bisa mendapatkan akses yang lebih praktis lagi untuk mengakses info yang kamu butuhkan.

Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idaman mu: