Penyebab Kenapa Malam Satu Suro Identik dengan Mistis dan Sakral bagi Masyarakat Jawa
Penyebab Kenapa Malam Satu Suro Identik dengan Mistis dan Sakral bagi Masyarakat Jawa – Selama ini malam satu suro selalu diidentikkan dengan hal-hal yang berbau mistis serta sakral di kalangan masyarakat Jawa.
Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat Jawa yang menggelar berbagai acara dalam peringatan malam satu suro.
Saking sakralnya bulan suro bagi masyarakat Jawa. Sampai membuat masyarakat Jawa tidak berani menggelar acara pernikahan di bulan Suro.
Konon, larangan ini berkaitan dengan adanya keyakinan bahwa di bulan suro, Ratu Kidul sedang memiliki hajatan sehingga orang Jawa tidak boleh mengadakan hajatan di bulan yang sama.
Alasan Kenapa Malam Satu Suro Identik dengan Mistis dan Sakral
Daftar Isi
Daftar Isi
Tidak ada yang tahu secara pasti sejak kapan keyakinan seperti ini muncul. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada yang meyakininya, beberapa pakar budaya mengatakan bahwa larangan orang Jawa menggelar hajatan di bulan suro memiliki sejarah yang cukup panjang.
Larangan menggelar hajatan di bulan suro ini diyakini ada kaitanya dengan kelahiran sistem penanggalan Jawa yang sekarang.
Sistem penanggalan Jawa yang sekarang ini bisa dikatakan masih baru. Sebab, sistem penanggalan Jawa yang digunakan masyarakat Jawa saat ini baru muncul setelah Sultan Agung menjadi orang nomor satu di Mataram.
Lahirnya Penanggalan Jawa di Masa Sultan Agung
Ketika Sultan Agung berkuasa atas tanah Mataram, pada saat itu bangsa-bangsa Eropa sedang memulai invasinya di beberapa kerajaan di Asia Tenggara termasuk kerajaan-kerajaan di nusantara.
Sebagai raja besar, Sultan Agung ingin kerajaan yang dipimpinnya bisa ‘setara’ dengan bangsa Eropa yang salah satu bentuk upaya yang dilakukan adalah memiliki sistem penanggalan sendiri.
Demi menciptakan sistem penanggalan yang berbeda dari yang sudah ada, Sultan Agung lantas ‘mengawinkan’ sistem penanggalan Jawa yang lama dengan sistem penanggalan hijriah.
Hasil dari proses ‘pengawinan’ dua sistem penanggalan inilah yang kemudian menjadi sistem penanggalan Jawa yang digunakan masyarakat Jawa hingga sekarang.
Di antara bulan-bulan yang ada di sistem penanggalan Jawa yang sekarang. Bulan sura atau yang di kalender hijriah adalah bulan muharram merupakan salah satu bulan yang dianggap kurang baik untuk menggelar hajatan pernikahan.
Relasi dengan Sejarah Nabi Muhammad SAW
Larangan ini didasarkan atas peristiwa karbala yang membuat dua cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW meninggal secara tragis.
Wafatnya kedua cucu Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Karbala ini merupakan peristiwa yang memilukan bagi umat islam.
Hal inilah yang membuat orang-orang Jawa di masa lalu merasa tidak pantas untuk menggelar hajatan di bulan muharram.
Seiring dengan berjalannya waktu, alasan mengenai larangan menggelar hajatan di bulan Suro ini menjadi beragam dan banyak versi.
Keistimewaan Kenapa Malam Satu Suro Identik dengan Mistis dan Sakral
Terlepas dari semua versi yang ada, bulan suro tetap menjadi bulan yang istimewa bagi sebagian orang Jawa.
Maka tidak mengherankan apabila malam satu suro yang merupakan malam pergantian tahun di dalam sistem penanggalan Jawa menjadi salah malam satu sangat dinantikan kehadirannya bagi sebagian masyarakat Jawa.
Alasannya adalah malam satu suro dianggap sebagai malam yang baik untuk memanjatkan doa dan pengharapan supaya di tahun yang baru bisa lebih baik dibanding dari tahun kemarin.
Dalam memanjatkan doa di malam suro ini beberapa masyarakat Jawa memilih melakukannya di tempat-tempat yang jauh dari keramaian seperti puncak gunung, makam-makam leluhur, dan tempat yang dianggap keramat.
Tempat-tempat ini dipilih dengan tujuan agar mereka yang berdoa bisa lebih dekat kepada Sang Pencipta.
Selain itu malam satu suro dianggap sakral karena hingga sekarang masih banyak tradisi yang digelar hanya di malam satu suro saja.
Acara-acara ini tidak hanya dilakukan oleh kalangan masyarakat biasa, tetapi juga dilakukan oleh kraton-kraton yang ada di pulau Jawa.
Contoh Kegiatan Sakral di Malam Satu Suro
Malam Suro di Kasunanan
Sebagai contoh di Kraton Kasunanan Surakata, setiap malam satu suro akan digelar kirab pusaka yang pelaksanaannya tepat pada tengah malam.
Kirab pusaka yang dilakukan di kraton Kasunanan Surakarta ini terbilang unik. Sebab, selain mengirab pusaka yang dimiliki kraton.
Kirab juga akan diiringi dengan kerbau bule keturunan kyai Slamet yang diyakini memiliki hubungan dengan sejarah berdirinya keraton kasunanan Surakarta itu sendiri.
Selain kirab yang dilakukan oleh Kasunanan Surakarta yang dilakukan pada malam satu suro.
Di sore harinya kadipaten Mangkunegaran yang merupakan salah satu pecahan dari kesultanan Mataram Islam juga menggelar kirab pusaka.
Kirab pusaka yang dilakukan kadipaten Mangkunegaran ini memiliki tata cara yang berbeda dengan yang dilakukan keraton Kasunanan Surakarta.
Malam Suro di Mangkunegaran
Setiap malam satu suro, kadipaten Mangkunegaran menggelar kirab mubeng benteng (Mengitari benteng) sebanyak tujuh kali dengan beberapa aturan tertentu yang harus diikuti oleh peserta kirab.
Salah satu aturan yang harus dilakukan pada saat mengikuti kirab mubeng benteng adalah semua peserta kiran dilarang bersuara.
Sehingga acara kirab pusaka yang dilakukan oleh kadipaten Mangkunegaran ini sering disebut dengan laku mbisu mubeng benteng.
Baik kirab yang dilakukan keraton Kasunanan Surakarta maupun kirab yang dilakukan kadipaten Mangkunegaran pada malam satu suro ini selalu menjadi daya tarik sendiri bagi warga Solo dan sekitarnya.
Sehingga bukan suatu hal yang mengherankan apabila setiap malam satu suro, kota Solo akan dipenuhi oleh puluhan ribu orang yang ingin menyaksikan jalannya prosesi kirab yang sudah mulai dilakukan sejak ratusan tahun silam.
Tradisi Larungan Merapi
Selain upacara yang dilakukan di dua keraton yang ada di kota Solo itu ada pula tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan merapi.
Masyarakat yang tinggal di kawasan merapi biasanya menggelar acara larungan kepala kerbau ke puncak merapi.
Pelarungan kepala kerbau di puncak merapi ini dimaksudkan agar Tuhan senantiasa melindungi masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut dari amukan gunung merapi.
Tradisi larungan yang dilakukan pada malam satu suro ini rupanya juga dilakukan di daerah lain. Salah satunya adalah di daerah pantai Sembukan, Wonogiri.
Larungan kepala kerbau yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar pantai Sembukan ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan atas segala anugrah yang telah diberikan kepada masyarakat setempat.
Digelarnya tradisi-tradisi di atas dan tradisi lain yang diadakan di malam satu suro inilah yang sering dijadikan penyebab malam satu suro begitu disakralkan bagi masyarakat Jawa.
Malam Satu Suro, Malam yang Mistis
Di sisi lain anggapan bahwa malam satu suro merupakan malam yang mistis karena banyak hantu yang berkeliaran ini sebenarnya hampir tidak ada di dalam keyakinan orang Jawa.
Anggapan semacam ini dibentuk oleh tayangan-tayangan di film atau kisah-kisah fiksi yang dibuat dengan tujuan tertentu. Selain sebagai sebatas hiburan.
Barangkali anggapan semacam ini dibangun dengan tujuan agar orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga demi menghindari hal-hal buruk yang terjadi di luar.
Dengan lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga diharapkan dapat membuat seseorang untuk berintropeksi diri supaya bisa menjadi pribadi yang lebih baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarga tercinta
Demikian informasi yang bisa diberikan mengenai Kenapa Malam Satu Suro Identik dengan Mistis.
Semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Klik dan dapatkan info kost di dekat mu: