Ringkasan Hikayat Tanjung Lesung Singkat beserta Nilai Atau Pesan Moralnya
Ringkasan Hikayat Tanjung Lesung Singkat beserta Nilai Atau Pesan Moralnya — Di tengah gempita kisah-kisah epik dan legenda Nusantara, Hikayat Tanjung Lesung yang berasal dari Banten tampil sebagai sebuah permata naratif yang mungkin belum familiar di telinga banyak orang.
Hikayat Tanjung Lesung tak hanya menawarkan hiburan. Namun, hikayat ini juga memberikan pembelajaran berharga karena tersimpan benang merah nilai-nilai luhur yang relevan dengan kehidupan masa kini.
Artikel singkat ini akan membawa kita menyelami ringkasan Hikayat Tanjung Lesung, sekaligus menggali pesan moral yang tersembunyi di dalamnya, guna menginspirasi dan memperkaya wawasan kita.
Ringkasan Hikayat Tanjung Lesung
Narasi mengenai Hikayat Tanjung Lesung telah diwariskan dari generasi ke generasi oleh penduduk setempat di Banten. Kisah ini juga sering dikaitkan dengan asal-usul nama Pantai Tanjung Lesung. Simak terus ya ringkasan ceritanya!
Awal Mula Cerita Hikayat Tanjung Lesung
Pada suatu masa di pantai selatan Pulau Jawa, terdapat seorang pemuda petualang yang berasal dari Laut Selatan bernama Raden Budog.
Dia dikenal sebagai pemuda yang memiliki paras menawan dan berwibawa. Ia memiliki seekor kuda dan anjing kesayangan.
Alkisah, Raden Budog tidur siang di bawah pohon di pinggir pantai.
Angin sepoi-sepoi yang berhembus membuatnya terlelap dan bermimpi berkelana ke arah utara, di mana ia bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik.
Dalam mimpi itu, Raden Budog begitu terpesona dan terbius oleh keindahan wanita tersebut. Ia berusaha mendekati dan berhasrat untuk menyentuh tangannya.
Namun, nasib berkata lain ketika sebuah dahan tiba-tiba jatuh tepat di keningnya sehingga ia terbangun.
Dengan rasa kesal, ia merespon, “Dasar ranting sialan!” umpatnya sambil bangkit dan melempar ranting yang telah jatuh padanya.
“Andai ranting itu tidak jatuh di dahiku, aku masih dapat melanjutkan mimpiku yang manis bertemu dengan wanita ayu itu.”
Mimpi yang Membawanya Mengembara
Sejak mimpi itu datang, Raden Budog tak pernah melupakannya dan selalu terbayang-bayang. Gambaran wajah cantik gadis yang ia temukan dalam mimpi di pantai sebelah utara Pulau Jawa selalu menghantuinya.
Karena mimpi itu terus mengganggunya, ia memutuskan untuk menjelajahi tempat tersebut dan menemukan gadis dalam mimpi itu.
Dalam persiapan perjalanannya, Raden Budog menyediakan segala keperluannya, tak lupa memberikan pakan kepada anjing dan kuda kesayangannya.
Ia berbicara pada anjingnya, “Kita akan menjelajah,” ujarnya.
“Perjalanan kita akan jauh. Siap-siaplah!” Kali ini dia menginstruksikan hal itu pada kudanya.
Raden Budog juga membawa senjata setianya, sebuah golok serta batu pengasah yang selalu ia bawa dalam setiap perjalanan. Setelah segalanya terpakai, ia pun menaiki kudanya dan memulai perjalanan ke arah utara.
Anjing setianya kini berjalan di depan sebagai pemandu dan pengawas dari potensi bahaya yang mungkin muncul.
Perjalanan Tanpa Henti
Lima hari lamanya ia menempuh perjalanan ke utara tanpa istirahat yang cukup, yang akhirnya membuat kudanya kelelahan. Meski begitu, dia penasaran mengenai keberadaan gadis pujaannya itu.
Alih-alih mengambil waktu untuk istirahat, Raden Budog memutuskan untuk terus melaju dalam perjalanannya, tanpa menghiraukan medan yang penuh tantangan dan kelelahan yang mendera.
Ketika tiba di Kampung Cimahpar, kudanya ambruk. Gerakan kudanya yang tiba-tiba ini membuat Raden Budog ikut tersungkur. Ia pun berguling hingga ke bawah lereng.
Setelah terjatuh, Raden Budog mengambil kesempatan untuk berhenti sejenak, membuka persediaan makanannya, dan menyantapnya dengan penuh selera.
Tidak berapa lama kemudian, dia kembali berdiri, mengumpulkan semangat dan mengajak anjing serta kudanya untuk secepatnya melanjutkan perjalanan. “Mari kita berangkat sekarang!” serunya.
Namun, ketika hendak menaiki kudanya, ia mendapati pelana telah rusak.
Ia pun melepaskan pelana dari punggung kuda dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki saja bersama kedua hewan peliharaannya.
Karang Kuda dan Karang Anjing
Perjalanan Raden Budog, bersama anjing dan kudanya, membawa mereka ke suatu tempat yang disebut Tali Alas. Di lokasi ini, ia terpana oleh keelokan lautan biru yang membentang luas dari barat sampai timur.
Setelah mengagumi pemandangan itu, ia melanjutkan perjalanannya hingga tiba di Pantai Cawar. Di sana ia sempat berendam di air untuk membersihkan tubuhnya yang lengket.
Kemudian, tidak lama setelah itu, ia mulai mencari anjing dan kudanya, berharap untuk memulai lagi perjalanan panjang mereka.
“Mari kita berangkat sekarang!” teriak Raden Budog pada kedua sahabat binatangnya yang tampak menikmati waktu santai di tepi pantai.
Akan tetapi, berbeda dengan sebelumnya, baik anjing maupun kuda tampak tidak bereaksi terhadap panggilan majikannya dan tetap terdiam.
Raden Budog, merasa frustasi dan meninggikan suaranya dan meminta dua hewan peliharaannya itu segera beranjak.
Sayangnya, anjing dan kuda tersebut terlalu lelah untuk bergerak, apalagi untuk meneruskan perjalanan.
Akhirnya, Raden Budog memutuskan untuk meninggalkan mereka dan melanjutkan pencariannya atas gadis yang muncul dalam mimpinya sendirian.
Sepeninggal Raden Budog, kedua hewan tersebut tetap bergeming. Mereka kemudian menjelma menjadi batu karang.
Di Pantai Cawar saat ini, ada batuan yang bentuknya mirip dengan anjing dan kuda, yang kemudian dikenal sebagai Karang Anjing dan Karang Kuda.
Alunan Lesung yang Merdu
Raden Budog tidak menghiraukan kelelahan yang membelenggunya. Obsesinya untuk menemukan wanita jelita yang sering hadir dalam mimpi begitu menguasai dirinya.
Sampai-sampai, ia tidak menyadari goloknya tertinggal, hanya menyertakan tas kulit yang berisi batu pengasah.
Pada suatu titik dalam perjalanannya, meskipun merasa sangat lelah, ia tetap memutuskan untuk tidak beristirahat.
Ia malah memutuskan untuk mengurangi beban tasnya, mengeluarkan batu pengasah yang dirasa hanya menambah beban.
Dan begitulah, dikatakan bahwa batu pengasah yang Raden Budog tinggalkan di tempat yang kini dikenal sebagai Legon Waru masih ada hingga saat ini, berubah wujud menjadi terumbu karang yang disebut Karang Pengasahan.
Raden Budog melanjutkan ekspedisi berat dan melelahkannya itu. Di tengah perjalanan, hujan turun dengan tiba-tiba dan lebat, memaksa Raden Budog untuk berlindung di gua, menunggu sampai hujan berhenti.
Namun, obsesi kembali menguasainya hingga Raden Budog meneruskan perjalanannya yang sempat ditunda.
Dia menyeberangi sungai dengan arus yang kuat karena dilanda banjir, dan sampailah dia di sebuah desa. Di sana, ia terpikat oleh irama lesung yang memikat.
Suara merdu yang menarik hati itu berasal dari rumah Nyi Siti. Ia bersama Sri Poh Haci, putrinya yang cantik jelita sedang sibuk menumbuk padi.
Mereka memiliki cara menumbuk yang khas sehingga alu tersebut menghasilkan nada yang sangat merdu.
Kegiatan itu mereka lakukan setiap hari, kecuali pada hari Jumat, hari yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Gadis Jelita dalam Mimpi
Raden Budog menelusuri asal suara pukulan lesung dan mendatangi sebuah rumah. Di lokasi tersebut, ia menemukan beberapa gadis yang tengah sibuk menumbuk lesung, di antaranya adalah Sri Poh Haci.
Namun, karena merasa ditatap oleh seorang lelaki yang tidak mereka kenal, Sri Poh Haci mengajaknya teman-temannya untuk berhenti menabuh lesung dan kembali ke rumah masing-masing.
Raden kemudian sampai di sebuah rumah dan mengetuk pintunya dengan hati-hati. Tempat itu adalah kediaman Nyi Siti, tempat ia dan Sri Poh Haci tinggal. Raden Budog ingin berteduh dan menginap untuk satu malam.
Raden Budog kemudian memperkenalkan dirinya.
Namun, meskipun telah dikenalkan, Nyi Siti masih ragu untuk mengizinkannya bermalam, terutama karena di rumah itu juga tinggal anak perempuannya. Nyi Siti akhirnya menolak permintaan Raden Budog.
Dengan perasaan kecewa, Raden Budog meninggalkan rumah tersebut. Ia memilih untuk beristirahat di sebuah balai-balai bambu yang berada tidak terlalu jauh dari kediaman Nyi Siti.
Di tempat itu, ia terlelap dan mengalami mimpi yang menampilkan wanita idamannya. Ketika terjaga, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Gadis yang cantik menawan, seperti yang pernah muncul dalam mimpinya, mendatanginya dan menawarkan secangkir kopi. Gadis tersebut adalah Sri Poh Haci. Akhirnya Raden Budog menemukan gadis yang dicarinya.
Akhir Kisah dan Hukuman
Sejak saat itu, Raden Budog dan Sri Poh Haci mulai menjalin cinta. Awalnya, Nyi Siti tidak menyetujui hubungan mereka karena keberatan dengan asal muasal Raden Budog yang kurang jelas.
Namun, cinta dan kasih sayang pada putrinya mengalahkan segala keberatannya, hingga ia memberikan restu demi kebahagiaan Sri Poh Haci.
Dalam pernikahannya dengan pemuda pengelana tersebut, Sri Poh Haci masih diperbolehkan untuk menabuh lesung bersama para wanita lain di desanya.
Raden Budog sendiri, yang sangat senang mendengar bunyi lesung, sering kali ikut serta bermain lesung. Namun, pada suatu hari, terjadi insiden yang tidak terduga.
Pada hari Jumat, aturan desa menetapkan bahwa lesung tidak boleh dibunyi. Namun, Raden Budog tetap keras kepala dan memainkan lesung di hari tersebut.
Ia mengabaikan pesan dari para tetua desa. Ia begitu larut dalam menabuh lesung hingga ia meloncat dan menari-nari dengan gembira.
Tak sadar bahwa tindakannya telah menarik perhatian penduduk desa, ia terkejut mendengar teriakan mereka, “Lihat! Seorang lutung sedang menabuh lesung! Hey, ada lutung yang menabuh lesung di sana!”
Bingung dengan panggilan tersebut, ia terkejut saat menyadari bahwa tubuhnya sekarang ditumbuhi rambut lebat. Dalam keadaan takut dan panik, ia bergegas melarikan diri ke hutan terdekat.
Sri Poh Haci yang menyaksikan peristiwa tersebut merasa sangat malu dan memilih meninggalkan desa tersebut.
Dalam pelarian, Sri Poh Haci pun menjelma menjadi Dewi Padi.
Sementara desa yang mereka tinggalkan dikenal sebagai Kampung Lesung, dan karena letaknya di suatu tanjung, desa itu kemudian dikenal dengan nama Tanjung Lesung.
Pesan Moral dari Hikayat Tanjung Lesung
Pesan moral yang disampaikan dalam Hikayat Tanjung Lesung antara lain:
1. Tidak Mudah menyerah
Hikayat Tanjung Lesung mengajarkan kita untuk tidak menyerah dalam menggapai cita-cita dan keinginan.
2. Tidak Keras Kepala dan Egois
Sikap Raden Budog dalam hikayart Tanjung langsung sangat egois dan hanya mementingkan diri sendiri.
Raden Budog tidak memaksa kuda dan anjingnya untuk terus bergerak serta tidak membiarkan mereka beristirahat. Raden Budog bahkan meninggalkan hewan kesayangannya demi obsesinya.
3. Mendengarkan Pendapat Orang Lain
Selain keras kepala, Raden Budog juga tidak mendengarkan pendapat orang dan semaunya sendiri.
Contohnya ketika dilarang menabuh lesung di hari keramat, Raden Budog tetap nekat. Sikap seenaknya sendiri kadang membawa petaka, ini dicontohnya dengan Raden Budog berubah jadi lutung.
Penutup
Setelah berlayar melintasi alur dan liku cerita Hikayat Tanjung Lesung, kita dapat berlabuh pada kesimpulan bahwa kisah ini bukan sekedar hiburan, tetapi juga sumber pembelajaran.
Nilai-nilai moral yang terkandung hikayat ini dapat menuntun kita dalam menjalani kehidupan.
Semoga ringkasan dan pesan moral yang telah disajikan dapat menjadi lampu yang menerangi jalan kita untuk selalu mengambil yang terbaik dari warisan budaya dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idamanmu: