9 Rumah Adat Papua beserta Nama, Keunikan, Ciri-ciri, dan Gambarnya Lengkap!
9 Rumah Adat Papua beserta Nama, Keunikan, Ciri-ciri, dan Gambarnya Lengkap! – Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keberagaman budayanya di dunia.
Salah satu bentuk dari keberagaman budaya itu adalah rumah adat. Yuk, ulik informasi lengkap seputar rumah adat Papua dalam artikel ini!
Berikut Deretan Rumah Adat Papua beserta Nama, Keunikan, Ciri-ciri, dan Gambarnya
Daftar Isi
Daftar Isi
Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia mempunyai begitu banyak keragaman budaya dan tradisi yang berlimpah.
Salah satu budaya yang cukup unik adalah budaya yang berasal dari wilayah paling timur Indonesia, yakni Papua.
Sebelum berdiri dengan nama Papua, dulunya Papua dikenal dengan nama Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973 dan Irian Jaya pada tahun 2002.
Hingga kemudian provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No 21/2001 Otonomi Khusus Papua.
Pada tahun 2004, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia, khusus untuk bagian timur tetap memakai nama Papua, sedangkan untuk bagian baratnya menjadi Provinsi Papua Barat (Irian Jaya Barat).
Berbicara soal budayanya, Papua punya keragaman dan keunikan tersendiri yang telah menjadi daya tarik dan ciri khas tersendiri bagi Papua.
Ragam budaya dan keunikan Papua ini dapat dilihat melalui rumah-rumah adatnya.
Nah, di bawah ini Mamikos sudah rangkumkan informasi lengkap seputar berbagai rumah adat Papua beserta dengan gambar dan penjelasannya.
1. Rumah Honai
Rumah Honai adalah rumah adat Papua yang paling terkenal. Rumah Honai juga dikenal dengan sebutan ‘Onai’, yang memiliki arti sebagai rumah.
Perlu kamu ketahui, rumah Honai adalah rumah tradisional dari Suku Dani di Wamena.
Menjadi rumah adat Papua yang paling dikenal dan paling sering dijadikan “duta” rumah adat Papua, rumah Honai dapat ditemukan di lembah dan pegunungan bagian tengah Papua dan oleh penduduk lokal sekitar.
Hingga saat ini, rumah Honai masih dijadikan sebagai tempat tinggal oleh Suku Dani.
Biasanya, rumah Honai didirikan secara berkelompok. Apabila kamu menemukan satu rumah Honai maka bisa dipastikan kamu akan melihat ada rumah Honai lainnya di dekatnya.
Hal ini dikarenakan sebuah keluarga membutuhkan lebih dari satu rumah Honai untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal anggota keluarga yang banyak.
Berbeda dari rumah pada umumnya, di dalam rumah Honai, masyarakat Suku Dani tidak menyediakan sofa, kursi atau tempat duduk jenis lainnya.
Jika tuan rumah kedatangan tamu, maka tamu tersebut dipersilahkan untuk duduk bersama di atas alas rumput atau jerami bersama tuan rumah. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membentuk kebersamaan.
Umumnya ditempati oleh para laki-laki dewasa, rumah Honai juga disebut dengan nama rumah Honai Pilamo.
Rumah adat Papua yang satu ini memiliki keunikan yang dapat dilihat dari bentuk rumahnya yang bulat dengan atap rumah berbentuk kerucut layaknya jamur dan hanya memiliki satu pintu tanpa jendela.
Atap rumah Honai umumnya terbuat dari jerami dengan dinding rumah yang terbuat dari bahan kayu.
Untuk atapnya, rumah Honai sengaja dibuat berbentuk kerucut tumpul guna mengurangi hawa dingin dan menghindari air hujan.
Menariknya, atap rumah Honai ini terbuat dari tumpukan daun sagu, jerami kering, atau ilalang.
Meskipun terlihat rapuh dan lemah, atap rumah Honai berbahan ilalang atau jerami ini justru memberikan makna tersendiri bagi orang Papua.
Maknanya yakni orang-orang yang mandiri, kritis, kuat, dan mudah menyesuaikan diri.
Untuk tingginya, rumah Honai hanya memiliki tinggi berkisar 2,5 meter dengan luas ruangan sekitar 5 meter.
Rumah Honai memang sengaja dibuat dengan ukuran yang kecil untuk membuat udara yang hangat di dalam ruangan rumah.
Ukuran rumah Honai dibuat sempit bukan tanpa alasan.
Pasalnya, rumah Honai umumnya terletak di pegunungan Papua yang memiliki hawa dingin, untuk itu rumah adat ini dibentuk sedemikian rupa agar dapat menahan dinginnya hawa di sana.
Dengan luas rumah yang sempit, temperatur di dalam rumah pun dapat semakin hangat.
Rumah Honai tak hanya unik dari segi bentuknya, namun juga dari fungsinya. Banyak yang tidak menyangka bahwa rumah mungil ini terdiri dari dua lantai dengan fungsi dari setiap lantai yang berbeda.
Biasanya, lantai pertama dipergunakan sebagai tempat tidur dan lantai kedua dimanfaatkan sebagai tempat bersantai, makan dan melakukan aktivitas keluarga lainnya.
Tak hanya dijadikan sebagai tempat tinggal, rumah adat Papua yang satu ini juga digunakan untuk menyimpan berbagai peralatan berburu maupun perang, lho.
Rumah Honai juga dimanfaatkan untuk menyusun strategi perang, menyimpan segala macam simbol dan peralatan yang telah diwariskan oleh para leluhur, hingga menjadi tempat penyimpanna menyimpan jenazah yang telah diawetkan menjadi mumi.
2. Rumah Ebei (Huma)
Rumah Ebei atau Huma merupakan rumah adat Papua berikutnya yang akan Mamikos bahas.
Meskipun sekilas memiliki bentuk yang sama dengan rumah Honai, yang membedakan rumah Ebei dan rumah Honai adalah siapa yang menempatinya.
Jika rumah Honai ditempati oleh para laki-laki dewasa Suku Dani, maka rumah Ebei hanya ditempati oleh para perempuan dewasa dan anak perempuan dari Suku Dani.
Namun, anak laki-laki yang belum beranjak dewasa diperbolehkan tinggal di rumah ini untuk beberapa saat.
Rumah
Ebei terdiri dari dua kata, yakni Ebe dan Ai. Di mana Ebe berarti tubuh dan Ai
berarti perempuan. Secara Bahasa, rumah Ebei dapat diartikan sebagai tubuh
perempuan.
Di dalam rumah Ebei, sang ibu mengajarkan anak perempuan yang beranjak dewasa dan siap menikah berbagai macam hal agar siap menjadi istri sekaligus ibu yang baik nantinya.
Di rumah Ebei ini juga, para wanita Papua melakukan berbagai macam aktivitas seperti memasak, menjahit, membuat kerajinan tangan, dan lain-lain.
Bagi masyarakat Papua, rumah Ebei memiliki filosofi penting. Bentuknya yang seperti lingkaran menandakan bahwa Suku Dani memiliki persatuan dan kesatuan yang solid.
Rumah Ebei juga menjadi sebuah simbol bagi Suku Dani guna menunjukkan harkat dan martabat mereka.
Rumah Ebei memiliki tinggi berkisar 2 hingga 2,5 meter dengan beratap jerami dan alang-alang yang dibentuk sedemikian rupa.
Rumah adat Papua yang satu ini didesain hanya memiliki satu pintu sebagai akses keluar masuk rumah.
Hal ini dilakukan agar dapat meminimalkan ventilasi udara sehingga udara dalam rumah bisa tetap hangat meski di luar udara sangat dingin.
Desain bentuk rumah adat Ebei yang melingkar juga memiliki tujuannya tersendiri, yakni agar mampu beradaptasi dengan udara dingin dan tiupan angin yang cukup kencang pada daerah Papua tersebut.
Untuk struktur rumahnya, rumah Ebei berasal dari alam sekitar, seperti, kayu, ranting, akar pohon, alang-alang, dan jerami.
3. Rumah Hunila
Rumah adat Papua berikutnya adalah rumah Hunila. Merupakan rumah adat Suku Dani, rumah Hunila memiliki bentuk panjang dan lebih luas dari rumah Honei dan rumah Ebei.
Umumnya, rumah adat ini digunakan untuk menyimpan berbagai peralatan masak dan bahan makanan.
Uniknya lagi, rumah Hunila juga kerap dijadikan sebagai dapur umum bersama antara beberapa rumah Honai dan Ebei guna melakukan produksi makanan untuk seluruh rumah.
Biasanya, bahan makanan yang sering diolah oleh masyarakat Suku Dani adalah sagu dan ubi.
Setelah selesai memasak bersama di rumah Hunila, makanan yang sudah matang akan diantarkan kepada keluarga masing-masing dan Pilamo (laki-laki dewasa).
4.
Rumah Wamai
Selain ketiga rumah adat sebelumnya, Suku Dani juga memiliki jenis rumah adat lainnya yakni rumah Wamai.
Memiliki banyak macam rumah adat, secara tidak langsung menunjukkan bahwa Suku Dani sudah mempunyai kehidupan yang terstruktur.
Jika sebelumnya rumah Honai merupakan rumah yang dikhususkan untuk laki-laki dewasa, sementara rumah Ebei khusus untuk para perempuan dewasa dan anak perempuan dari Suku Dani, dan rumah Hunila dimanfaatkan sebagai dapur umum.
Nah, rumah Wamai difungsikan sebagai kandang hewan ternak. Umumnya, hewan ternak yang sering dimasukkan ke dalam rumah Wamai ayam, babi, kambing, dan anjing.
Nama Wamai sendiri berasal dari panggilan hewan ternak utama yang biasanya dipelihara masyarakat Suku Dani, yakni babi (wam).
Bangunan rumah Wamai dianggap istimewa bagi masyarakat Suku Dani, mengingat babi menjadi hewan yang sangat bernilai bagi mereka.
Untuk bentuk bangunannya, rumah Wamai memiliki bentuk yang hampir mirip dengan rumah Honai.
Namun, rumah Wamai tidak memiliki dinding yang semuanya melingkar. Beberapa sumber mengatakan bahwa terkadang dinding rumah Wamai berbentuk persegi atau persegi panjang.
Rumah Wamai juga memiliki ukuran yang tidak sama antara satu dengan rumah Wamai lainnya.
Bentuk dan ukuran rumah Wamai sendiri cukup fleksibel menyesuaikan dengan banyaknya ternak yang hendak ditampung di dalam rumah tersebut.
5. Rumah Kariwari
Setelah membahas rumah adat Suku Dani, kali ini Mamikos akan beralih ke rumah adat Suku Tobati-Enggros yang bernama rumah Kariwari.
Tak bisa kita pungkiri, rumah adat Papua memang punya keunikannya tersendiri untuk digali.
Rumah Kariwari sendiri mempunyai atap yang berbentuk limas segi delapan. Bahkan, untuk tingginya bisa sampai bertingkat tiga, lho.
Bentuk segi delapan sendiri memiliki beberapa arti bagi masyarakat Suku Tobati-Enggros.
Masyarakat Suku Tobati-Enggros percaya bahwa bentuk atap segi delapan dapat memperkuat rumah tersebut dari segala macam cuaca, terlebih di saat hawa dingin dan angin berhembus kencang.
Selain itu, bentuk octagon yang ujungnya lancip melambangkan kedekatan manusia dengan Tuhan dan para leluhur yang telah mendahului.
Meskipun begitu, rumah Kariwari ternyata tidak dijadikan sebagai tempat tinggal oleh masyarakat Suku Tobati-Enggros baik itu kepala suku atau masyarakat biasa.
Rumah Kariwari juga tidak difungsikan sebagai tempat hukum maupun politik.
Rumah
Kariwari dibangun untuk tujuan pendidikan dan ibadah. Maka tidak heran jika
rumah Kariwari ini menjadi tempat yang sakral dan suci bagi Suku
Tobati-Enggros.
Umumnya, kamu bisa melihat rumah Kariwari di dekat Teluk Yotefa dan Danau Sentani, Jayapura.
Karena lokasinya cukup dekat dengan garis pantai tersebut, rumah adat Papua yang satu ini dibangun tegak lurus dengan gelombang air laut.
Rumah Kariwari sendiri terbuat dari kayu, daun pohon sagu, kayu besi, bambu, dan pohon lainnya yang hidup di tanah Papua.
Sementara untuk kerangka utama rumah terbuat dari kayu-kayu tersebut yang diikat menggunakan tali rotan pilihan. Menariknya, kerangka rumah Kariwari ini hanya memerlukan delapan batang kayu saja, lho.
Selain itu, rumah Kariwari juga dibangun dengan menggunakan pola linier secara sejajar dengan susunan dua baris rumah berhadapan dan berjejer di sepanjang pantai.
Jarak antar satu rumah dengan rumah lainnya juga diatur tidak terlalu jauh karena alasan keamanan dan kedekatan hubungan keluarga.
Memiliki tinggi 20 hingga 30 meter, rumah Kariwari terbaru menjadi tiga tingkat di mana masing-masing tingkatan tersebut punya satu ruangan.
Khusus untuk lantai pertama biasanya digunakan untuk mendidik remaja laki-laki agar siap menjadi laki-laki dewasa yang kuat, bertanggung jawab dan terampil.
Apabila anak laki-laki sudah memasuki usia minimal yakni dua belas tahun maka mereka akan dikumpulkan dan dikader terkait mencari nafkah, bertanggung jawab pada keluarga, hidup mandiri, berburu, membuat senjata, memahat, diajarkan teknik berperang, bercocok tanam dan lainnya.
Sementara itu, lantai kedua digunakan untuk pertemuan antar para kepala suku atau tokoh adat untuk membicarakan suatu hal yang penting.
Dan untuk lantai ketiga, biasanya digunakan untuk sembahyang atau memanjatkan selaksa doa kepada para leluhur dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
6. Rumah Rumsram
Selanjutnya, ada rumah Rumsram yang merupakan rumah adat Papua suku Biak Numfor di area pantai utara Papua. Rumah adat Papua yang satu ini memiliki atap berbentuk seperti perahu terbalik.
Kabarnya, desain atap rumah adat ini dipengaruhi oleh profesi mereka yang kebanyakan adalah seorang pelaut.
Sama seperti rumah Kariwari, rumah Rumsram dibangun tidak untuk ditinggali namun difungsikan sebagai tempat untuk mendidik anak laki-laki yang sudah dianggap sudah dapat dewasa dan bisa berpikir.
Biasanya, ketika seorang anak laki-laki berusia 6 hingga 8 tahun maka Ia akan diberi pendidikan Rumsram yang dilangsungkan di rumah Rumsram.
Pendidikan Rumsram diberikan dengan tujuan agar anak laki-laki tersebut siap menjadi seorang lelaki dewasa yang mandiri, bertanggung jawab dan siap menjadi kepala keluarga.
Umumnya, pelajaran yang diberikan seperti memahat, membuat perisai, teknik berperang, membuat perahu, dan sebagainya. Untuk itu, para wanita tidak diperkenankan masuk ke dalam rumah adat ini.
Jika melihat dari segi konstruksi, rumah Rumsram memiliki tinggi mencapai 6 hingga 8 meter dan terbagi menjadi dua lantai.
Di lantai pertama dipergunakan untuk menyelenggarakan pendidikan Rumsram bagi anak laki-laki.
Lantai pertama ini didesain sedemikian rupa terbuka dan tanpa dinding pembatas agar mereka bisa belajar dengan bebas.
Berbicara soal dinding, dinding rumah Rumsram terbuat dari bambu air dan pelepah sagu.
Sementara, untuk lantainya dilapisi dengan kulit kayu dengan atap yang berbentuk perahu terbalik berbahan daun sagu yang telah dikeringkan.
Kini, rumah Rumsram sedang diupayakan untuk dilestarikan oleh pemerintah daerah setempat.
Salah satu bukti keseriusan pemerintah setempat adalah adanya rencana untuk menerbitkan Peraturan Gubernur (Perbup) yang mewajibkan gedung pemerintah dan swasta memiliki bentuk atap seperti perahu terbalik.
7. Rumah Pohon
Selain
keenam rumah adat Papua sebelumnya, suku pedalaman di Papua lainnya juga
ternyata punya rumah adat yang unik. Rumah adat ini bernama rumah Pohon yang dibangun
oleh masyarakat Suku Korowai.
Menyesuaikan kondisi alamnya, rumah pohon dibuat di atas dahan pohon dengan ketinggian 15 hingga 50 meter.
Jika kamu takut dengan ketinggian, sepertinya kamu bisa berpikir ulang untuk naik ke atas rumah adat Papua yang satu ini.
Rumah Pohon didesain sedemikian rupa oleh masyarakat Suku Korowai guna menghindari ancaman serangan binatang buas dan makhluk ghaib yang jahat bernama Laleo.
Perlu kamu ketahui, Laleo ini adalah mahkluk jahat yang diyakini berbentuk seperti mayat hidup dan sering berkeliaran di malam hari.
Masyarakat Suku Korowai percaya jika rumah mereka semakin tinggi maka akan semakin aman dan terhindar dari gangguan roh jahat.
8. Rumah Kaki Seribu
Rumah Kaki Seribu adalah rumah adat Papua yang dibangun oleh Suku Arfak dan banyak dijumpai di Kabupaten Manokwari.
Rumah adat Papua yang satu ini dijuluki rumah Kaki Seribu karena memiliki banyak sekali tiang penyangga di bawah rumah.
Jika dilihat sekilas, tiang penyangga rumah tersebut akan mirip dengan hewan kaki seribu.
Memiliki
luas sekitar 8 x 6 meter, rumah Kaki Seribu mempunyai tinggi 1 hingga 1,5
meter. Dengan tinggi tersebut, masyarakat Suku Arfak percaya bahwa rumah Kaki
Seribu aman dari serangan hewan buas.
Untuk mengurangi hawa dingin yang mengelilingi daerah sekitar, rumah Kaki Seribu disiasati tidak memiliki jendela sehingga udara yang masuk hanya bisa melalui pintu saja.
Atap pintu rumah adat ini terbuat dari rumput ilalang dengan lantai yang terbuat dari anyaman rotan.
Sementara, untuk dinding bangunan rumah terbuat dari kayu yang disusun secara horizontal dan vertikal dengan cara saling mengikat.
Rumah Kaki Seribu masuk dalam jenis rumah panggung yang khas dengan corak Manokwari.
Namun, yang membedakan mod aki aksa dengan rumah panggung lainnya adalah banyaknya tiang pondasi yang berada di bawah rumah dan menjadi tumpuan utama bangunan rumah.
9. Rumah Jew
Rumah
Jew adalah rumah adat Papua dari Suku Asmat yang juga cukup populer di
Indonesia. Berbentuk seperti rumah panggung, rumah Jew memiliki bentuk persegi
panjang dengan luas 1-0 x 15 meter.
Uniknya, rumah adat Papua yang satu ini sama sekali tidak menggunakan paku sebagai penghubung antar kayunya, lho. Kayu-kayu tersebut dihubungkan hanya dengan menggunakan akar-akar rotan pilihan.
Rumah Jew diperuntukkan dan hanya boleh ditinggali oleh laki-laki yang belum menikah.
Perlu kamu ketahui pula bahwa anak laki-laki yang belum berusia 10 tahun dan perempuan tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalamnya.
Hal ini membuat rumah adat Papua yang satu ini kerap dijuluki sebagai rumah Bujang.
Di dalam rumah Jew, para lelaki bujang saling belajar dengan bujang yang lebih senior hingga para lelaki yang sudah berkeluarga.
Di dalam rumah ini, mereka diajarkan bagaimana cara mengolah sumber daya, pendidikan budaya, hingga mengembangkan keterampilan dan bakat yang dimiliki.
Tak hanya itu saja, rumah Jew juga kerap dipergunakan sebagai tempat untuk bermusyawarah terkait kehidupan warga setempat.
Rumah ini juga difungsikan sebagai tempat untuk mendamaikan perselisihan antar warga, merencanakan pesta adat, rapat adat, perdamaian, perang, bahkan untuk penyelenggaraan upacara-upacara adat.
Demikian informasi yang bisa Mamikos bagikan kepada kamu terkait deretan rumah adat Papua lengkap dengan informasi serta gambarnya.
Semoga informasi di atas dapat bermanfaat, ya bagi kamu yang ingin menggali informasi seputar keberagaman budaya yang ada di Papua.
Jika kamu ingin mencari informasi seputar rumah adat lainnya, kamu bisa kunjungi situs blog Mamikos dan temukan informasinya di sana.
Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idamanmu: