Sejarah G30S/PKI: Dalang, Tokoh Kesaksian, dan Kisah yang Disembunyikan
Sejarah G30S/PKI: Dalang, Tokoh Saksi dan Kisah yang Disembunyikan – Mungkin pepatah tua yang berbunyi, ‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannnya’ jadi terdengar skeptis mengingat semakin banyaknya orang yang telah lupa.
Mulut kenyataan memang kadang kejam, tapi begitulah yang terjadi. Ir. Soekarno mengucapkan itu pada 10 Nopember 1961 pada pidatonya dan empat tahun setelahnya bangsa Indonesia mengalami peristiwa pengkhianatan besar-besaran. Bahkan bisa dibilang terbesar sepanjang sejarah.
Sejarah G30S/PKI Dalang, Tokoh Kesaksian, dan Kisah yang Disembunyikan
Daftar Isi
Daftar Isi
Ketika duduk di bangku SD kita pasti sudah mengenal peristiwa Gerakan 30 September 1965 / PKI atau lebih dikenal dengan G30S/PKI melalui pelajaran sejarah. Di buku yang tertulis di sana hanya dijelaskan peristiwa secara garis besar saja.
Mungkin penulisnya tak bermaksud untuk menyudutkan satu pihak, atau menjadi fans garis keras Soekarno dan mungkin juga hanya meng-copy gambaran besar bagaimana peristiwa itu terjadi meski tidak secara terperinci.
Tepat pada malam hari saat pergantian 30 September (Kamis) ke tanggal 1 Oktober (Jumat) 1965, peristiwa bersejarah itu terjadi dan melibatkan anggota PKI dan pasukan Cakrabirawa. Gerakan ini sebetulnya bertujuan untuk menggulingkan Soekarno dan mengubah Indonesia menjadi komunis. Dipa Nusantara Aidit lah yang memprakarsainya. Aidit merupakan ketua dari PKI saat itu.
Dalang, Tokoh G30S/PKI
Untuk melancarkan niatnya, DN. Aidit melakukan hasutan-hasutan kepada rakyat Indonesia. Tujuannya jelas agar mendapat dukungan penuh terhadap niatnya sebagai PKI untuk menjadikan Indonesia sebagai “Negara Yang Lebih Maju”.
Dia juga melancarkan aksinya dengan menciptakan persekutuan konsepsi NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Di sinilah kemudian DN Aidit secara terang dan nyata dinyatakan sebagai dalang atau otak dari G30S/PKI oleh Pemerintah Republik Indonesia pada masa Presiden Soeharto.
Dalam penculikan itu, ada empat orang yang dibunuh di Lubang Buaya. Sementara tiga lainnya langsung dibunuh di kediaman mereka sendiri. Mereka adalah Ahmad Yani, MT Haryono, dan DI Panjaitan. Sedangkan AH Nasution berhasil meloloskan diri.
Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Haryono, dan Brigadir Jenderal DI Panjaitan ialah petinggi di TNI AD. Ahmand Yani saat itu menjabat Menteri/Panglima AD/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi. Sedangkan Jenderal Abdul Harris Nasution yang berhasil meloloskan diri saat itu menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Padahal sebenarnya AH Nasution lah yang justru disebut-sebut menjadi target utama dalam pembunuhan tersebut, Kronologi cerita peristiwa g 30 s pki secara singkat :
Cerita Peristiwa Silam G30S/PKI yang Disembunyikan
Yutharyani, seorang Perwira Seksi Pembimbingan Informasi Monumen Pancasila Sakti dari TNI Angkatan Darat, pernah menuturkan bahwa meniti lorong waktu menuju masa silam, lebih dari setengah abad lalu itu selalu membuat hatinya remuk.
Peristiwa kelam dan penuh dengan luka itu selalu membuat emosinya bergejolak mengingat bagaimana para Jenderal dihabisi dengan sadis.
Kabarnya empat lainnya yang masih hidup saat dibawa ke rumah penyiksaan terlebih dahulu. Ajudan Nasution, Andreas Tendean juga kemudian ikut menjadi korban. Rumah penyiksaan yang dimaksud adalah sebuah kediaman salah seorang warga di Desa Lubang Buaya.
Rumah yang menjadi saksi bisu itu kini berada dalam Kompleks Monumen Pancasila Sakti. Sangat berbeda seperti saat ini, dulu Lubang Buaya hanyalah hutan karet yang tak banyak penduduk tinggal di situ.
Sesaat sebelum dibunuh para jendral disuruh atau mungkin dipaksa untuk menandatangani yang namanya Dewan Jenderal. Itu adalah tipu muslihat PKI bahwa Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah nantinya.
Dewan Jenderal sendiri adalah julukan untuk kelompok jenderal yang diisukan hendak melakukan tindakan makar terhadap Presiden Soekarno dan pemerintahan Republik Indonesia.
Menurut Yutharyani, padahal itu hanyalah cerita khayalan yang dikarang PKI. S. Parman yang pertama disuruh untuk tanda tangan. Namun beliau bersikukuh bahwa TNI AD tidak akan melakukan kudeta. Dan pada titik itu jugalah, penyiksaan terhadap para jenderal dan ajudan Nasution yang masih hidup berlangsung.
Mereka semua –Mayjen S. Parman, Mayjen R Suprapto, Brigjen Sutoyo, Lettu Pierre Andreas Tandean– akhirnya tewas dibunuh setelah sebelumnya disiksa.
Para jenderal ini dipukul dan dipopor mengunakan ujung senjata. Hasil visum bahkan menunjukkan adanya retak di tulang kepala, tangan dan kaki patah. Hal itu dikarena para jenderal ditendang dengan keras menggunakan sepatu lars PKI.
Dalam kondisi antara hidup dan mati itu, tubuh para jenderal lantas digeret tanpa berperasaan lalu dibuang ke sebuah sumur di Kawasan Lubang Buaya. Sumur itu memiliki kedalaman sekitar 12 meter dengan lebar 75 sentimeter.
Setelah tubuh para jenderal berada dalam sumur, mereka kembali ditembaki berkali kali. Tujuannya untuk meyakinkan bahwa mereka sudah benar-benar tewas. Kemudian atas sumur itu ditutupi dengan sampah pohon karet untuk sebagai kamuflase bahwa di bawah sumur tersebut tidak ada hal mencurigakan. Apalagi sekumpulan mayat jenderal yang tewas dibantai.
1 Oktober datang dan masih belum ada yang mencium sesuatu yang tak beres. Akhirnya pada tanggal 4 Oktober, mayat ditemukan dan diangkat dari dalam sumur. Jasad segera divisum dan diautopsi di RS Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto.
Segera setelah itu jenazah para jenderal di bawa ke Markas Besar AD untuk disemayamkan dengan layak. Tanggal 5 Oktober tepat pada peringatan Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata Repebulik Indonesia, pemakaman di lakukan beserta upacara kenegaraan.
Sebuah informasi lain juga sepertinya tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya ada jenderal ke delapan yang hendak di culik dan dihabisi pada saat tanggal 30 September 1965. Dia adalah Brigjen Ahmad Sukendro.
Sebuah laporan intelijen CIA berjudul The President’s Daily Brief tahun 1965, para Jenderal Angkatan Darat sudah aktif berkomunikasi dengan pihak Amerika Serikat dan masuk dalam laporan CIA. Hal itu bertujuan untuk memberantas PKI. Laporan tersebut sekarang sudah bisa diakses khalayak.
Jenderal Sukendro, sebagai satu-satunya yang selamat dari jajaran Brain Trust Angkatan Darat setelah pembunuhan 30 September, mengakui bahwa memang jadi pertanyaan besar apakah AD bisa memberantas Komunis sementara itu Soekarno merasa keberatan dengan maksud para Jenderal.
Apa itu julukan Brain Trust yang disematkan oleh CIA? John Roosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal menjelaskan bahwa sebutan Brain Trust ditunjukan kepada kelompok jenderal pemikir di Angkatan Darat yaitu Ahmad Yani, Suprapto, MT Haryono, S Parman dan Sukendro. 5 Nama ini ditambah AH Nasution, Sutoyo dan DI Panjaitan dalam buku Soekarno File yang ditulis Antonie CA Dake, PKI menyebut mereka para Dewan Jenderal.
Dake menyebutkan bahwa Sukendro berhasil lolos dari maut karena saat itu dia sedang melakukan perjalanan dinas ke Beijing, tepat di malam pembunuhan para jenderal. Lantas kenapa kita jarang mendengar namanya, ya? Roosa menyebut Sukendro adalah jenderal intelijen yang cukup dekat dengan CIA dan pejabat AS.
John Roosa, Associate Professor Departemen Sejarah University of British Columbia dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, mengistilahkan Lubang Buaya kini sebagai “tanah keramat.”
John Roosa memaparkan dalam bukunya, sebuah monumen sengaja didirikan dengan tujuh patung perunggu para jenderal yang gugur. Semua berdiri setinggi manusia dengan sikap gagah dan menantang. Pada dinding belakang deretan patung para jenderal tersebut, telah ditempatkan pula patung garuda raksasa dengan sayap mengembang perkasa. Monumen Pancasila Sakti adalah salah satu titik sakral di Lubang Buaya.
Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idamanmu: