7 Suku-suku di Pulau Kalimantan Tengah, Utara, Timur, Barat, dan Selatan
7 Suku-suku di Pulau Kalimantan Tengah, Utara, Timur, Barat, dan Selatan – Tahukah kamu bahwa Kalimantan adalah pulau ketiga terbesar di dunia?
Memiliki wilayah yang cukup luas membuat Pulau Kalimantan terbagi menjadi beberapa provinsi dengan beragam suku daerah yang tersebar di dalamnya.
Untuk mengetahui lebih jauh lagi seputar suku-suku yang ada di Pulau Kalimantan, yuk simak informasi selengkapnya berikut ini.
Berikut Deretan Suku-suku di Pulau Kalimantan
Daftar Isi
Daftar Isi
Sebelum dikenal dengan nama Kalimantan, pulau yang terkenal dengan keindahan dan sumber daya alam ini dikenal dengan nama “Borneo” yang berasal dari nama kesultanan Brunei.
Nama Borneo ini digunakan oleh kolonial Inggris dan Belanda untuk menyebut pulau Kalimantan secara keseluruhan.
Sementara itu, nama “Kalimantan” sendiri hanya dipakai oleh masyarakat yang bermukim di kawasan timur yang sekarang sudah masuk ke dalam wilayah Indonesia.
Memiliki
luas mencapai 743.330 km2, Pulau Kalimantan terbagi menjadi tiga negara di satu
kawasan Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Dalam
konteks ini, Indonesia menguasai lebih dari 73 persen wilayah di pulau
Kalimantan.
Saat ini, Pulau Kalimantan terbagi menjadi lima provinsi yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.
Dimana di setiap daerahnya terdapat beragam suku dengan adat istiadat, budaya, dan kebiasaan yang berbeda-beda. Berikut adalah suku-suku di Pulau Kalimantan yang tersebar di kelima provinsi tersebut.
1. Suku Dayak
Suku Dayak merupakan etnis asli Pulau Kalimantan yang memiliki populasi lebih dari 6 juta jiwa. Di mana suku Dayak sendiri tersebar di seluruh Pulau Kalimantan, mulai dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, hingga Kalimantan Selatan.
Jika merujuk pada laman kebudayaan.kemdikbud.go.id disebutkan bahwa, suku Dayak adalah keturunan imigran dari Propinsi Yunnan di China Selatan tepatnya di Sungai Yangtse Kiang, Sungai Mekhong dan Sungai Menan.
Dimana sebagian dari kelompok imigran menyebrang ke Semenanjung Malaysia sebagai batu loncatan pertama. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan ke bagian Utara Pulau Kalimantan.
Meskipun arus imigrasi serta pengaruh yang cukup kuat dari pendatang, namun masyarakat suku Dayak masih mempertahankan adat istiadat serta budayanya.
Mereka memilih untuk masuk ke pedalaman Kalimantan. Karena hal tersebut, suku Dayak pun mulai berakulturasi dan melahirkan budaya baru serta membentuk sub etnis sendiri.
Suku Daya dibagi menjadi enam rumpun besar, yakni Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Iban, Klemantan, Murut, dan Ot Danum-Ngaju.
Untuk rumpun yang paling tua mendiami Pulau Kalimantan adalah Rumpun Dayak Punan. Sementara, rumpun Dayak lainnya adalah hasil asimilasi Dayak Punan dan kelompok Proto Melayu.
Berbicara soal sub-sukunya, menurut buku karya Lontaan J. U berjudul Sejarah-Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, disebutkan bahwa ada sekitar 405 sub suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Masing-masing sub suku tersebut bermukim di Pulau Kalimantan dan punya adat istiadat serta budaya yang hampir sama.
Hingga
kini, suku Dayak masih menetap dan mempertahankan tradisi di daerah-daerah
asalnya. Beberapa tradisi yang masih dipertahankan dinilai unik dan jarang
terekspos oleh media.
Salah satu tradisi orang Dayak yang terbilang cukup unik adalah memanjangkan telinganya. Tradisi ini hanya dilakukan oleh perempuan Dayak yang bermukim di Kalimantan Timur.
Ada beberapa anggapan yang mengatakan bahwa ketika seorang perempuan Dayak memiliki telinga panjang, maka ia akan terlihat semakin cantik.
Tak hanya itu saja, memanjangkan telinga juga disebut sebagai tradisi untuk menunjukan status kebangsawanan serta melatih kesabaran.
Untuk memanjangkan telinga, perempuan suku Dayak akan menggunakan logam sebagai pemberat yang ditaruh di bawah telinga (tempat memasang anting-anting).
Konon katanya, perempuan Dayak diperbolehkan untuk memanjangkan telinga hingga dada, sementara laki-laki Dayak hanya diperbolehkan memanjangkan telinga hingga mencapai bawah dagu saja.
2. Suku Banjar
Suku Banjar merupakan etnis asli Pulau Kalimantan yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Namun, sebagian dari masyarakat suku Banjar kini juga berada di Kalimantan Tengah dan sebagian di Kalimantan Timur.
Sejak dahulu, orang Banjar memang sudah mulai menempati beberapa daerah di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, khususnya kawasan dataran rendah dan hilir dari kawasan arus sungai wilayah tersebut.
Pada awalnya, suku Banjar mendiami wilayah pesisir dengan bermata pencaharian sebagai pedagang.
Namun seiring berjalannya waktu, suku Banjar mulai menempati wilayah-wilayah pedalaman di sekitar Pegunungan Meratus dan beralih menjadi petani karet (berladang).
Populasi
suku Banjar dalam jumlah yang besar juga bisa ditemukan di wilayah Sumatera
Utara, Jambi, Riau, dan Semenanjung Malaysia. Hal ini dapat terjadi karena pada
abad ke-19 banyak orang Banjar yang melakukan migrasi ke Kepulauan Melayu.
Kini, suku Banjar merupakan etnis mayoritas di Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, masyarakat suku Banjar berjumlah 4,1 juta jiwa.
Sekitar 2,7 juta tinggal di Kalimantan Selatan, 1 juta tinggal di wilayah Kalimantan lainnya, dan 500 ribu lainnya tinggal di luar Pulau Kalimantan.
Diketahui, suku Banjar terbentuk dari suku-suku Bukit, Lawangan, Maanyan, dan Ngaju yang banyak pula dipengaruhi oleh Jawa dan Melayu.
Maka, dapat disimpulkan bahwa suku Banjar berasal adri campuran beberapa suku, meskipun yang dominan adalah suku Dayak.
Suku
Banjar sendiri terbagi lagi menjadi 3 sub suku, yakni Banjar Batang Banyu,
Banjar Kuala, dan Banjar Pahuluan. Pada dasarnya orang Banjar Batang Banyu mendiami
lembah sungai Bahan dan merupakan campuran orang Melayu-Hindu dan orang Dayak
Meratus.
Sementara,
orang Banjar Kuala bermukim di sekitaran Banjarmasin dan Martapura. Orang Banjar
Kuala ini merupakan campuran Batang Banyu, Dayak Ngaju, Kampung Melayu, Kampung
Bugis-Makassar, Kampung Arab, Kampung Jawa, dan beberapa orang Cina Parit yang
masuk ajaran Islam.
Dan
untuk sub suku Banjar Pahuluan pada dasarnya adalah penduduk daerah lembah
sungai atau cabang sungai Bahan yang berhulu ke pegunungan Meratus. Kelompok sub
suku ini terdiri dari campuran orang Dayak, dan Melayu-Hindu.
Berbicara
soal adat kebudayaan, masyarakat Banjar berakar dari suku Dayak Kaharingan.
Namun, setelah banyak masyarakat yang memeluk agama Islam secara masal, adat
Dayak Kaharingan tadi disesuaikan dengan ajaran Islam.
Ada
beberapa ciri khas dari orang Banjar yang bisa kamu kenali. Salah satunya
adalah orang Banjar punya keterampilan mengolah area pasang surut, mengingat
kehidupan masyarakat suku Banjar sangat dekat dengan sungai.
3. Suku Kutai
Suku
Kutai adalah suku Melayu asli dari Kalimantan Timur. Merupakan rumpun dari suku
Rumpun Ot Danum atau Rumpun Barito, suku Kutai dikenal pula dengan sebutan
sebagai Dayak Kutai atau Urang Kutai.
Menilik dari sejarahnya, suku Kutai awalnya dikenal sebagai sebuah nama kerajaan Hindu tertua di Indonesia.
Disebut sebagai kerajaan tertua karena Kerajaan Kutai adalah satu-satunya daerah yang punya bukti sejarah faktual.
Bukti sejarah Kerajaan Kutai ini berupa adanya tujuh buah prasastu batu yang ditemuykan pada tahun 1879 di Bukit Belves, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Pada tahun 1945 tepatnya setelah Indonesia merdeka, identitas dan budaya Kutai khususnya Kerajaan Kutai Kartanegara di Martapura (Martadipura) berangsur mulai menurun.
Kemudian, memasuki tahun 1947, status Kesultanan Kutai berubah menjadi daerah Swapraja Kutai yang masuk ke dalam federasi Kalimantan Timur.
Kini,
istilah Kutai tak hanya dikenal sebagai nama kerajaan atau wilayah saja, namun
juga sebagai salah satu identitas etnis pertama di Pulau Kalimantan, khususnya
Kalimantan Timur. Berdasarkan jenisnya, suku Kutai tergolong dalam suku Melayu.
Jika dilihat dari adat istiadatnya, suku Kutai memiliki beberapa kesamaan dengan suku Dayak Rumpun Ot Danum (Rumpun Barito).
Mulai dari adanya Erau (upacara adat yang meriah), Belian (upacara tarian untuk penyembuhan penyakit), dan mantra hingga ilmu-ilmu gaib.
Meskipun mayoritas orang Kutai memeluk agama Islam, namun dulunya sebelum ajaran agama masuk ke Kalimantan, cukup banyak orang Kutai yang tinggal di kawasan Kutai Kartanegara menganut kepercayaan Kaharingan (kepercayaan suku Dayak).
Hingga saat ini, suku Kutai masih memiliki kedekatan budaya Melayu dengan suku Banjar. Hal ini terlihat dari kesenian kedua suku ini, mulai dari budaya bersyair seperti Tarsul, pertunjukan Mamanda (seni teater Jepen/Zapin), dan musik Panting Gambus.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman, suku Kutai memiliki empat dialek, yakni Kutai Tenggarong, Kutai Kota Bangun, Kuta Muara Ancalong, dan Kutai Sengata/Sangatta.
Faktanya, bahasa Kutai memiliki beberapa persamaan kosa kata dengan bahasa Banjar dan bahasa Dayak lho.
Misalnya kata ‘celap’ dalam bahasa Kutai Tenggarong atau ‘celap’ dalam bahasa Dayak Iban dan bahasa Dayak Tunjung, serta ‘jelap’ dalam bahasa Dayak Benuaq yang berarti dingin.
4. Suku Melayu
Tak hanya berada di Pulau Sumatera, suku Melayu ternyata juga dapat kamu temukan di Pulau Kalimantan.
Dikenal sebagai suku Melayu Pontianak, suku Melayu di Pulau Kalimantan sebagian besar bermukim di Kalimantan Barat.
Di Kalimantan Barat, kamu bisa temukan kesultanan Melayu bernama Kesultanan Kadryiah Pontianak (Kerajaan Pontianak) yang didirikan pada 1771 di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Kesultanan Pontianak ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, putra dari Habib Husein Alkadrie yang merupakan ulama dari Hadramaut, Yaman.
Menurut Sensus Penduduk 2010, populasi suku Melayu di Kalimantan Barat mencapai 33,84 persen.
Masyarakat suku Melayu ini mudah ditemui di wilayah Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sambas, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Ketapang.
Dalam artikel karya Yusriadi yang berjudul Identitas Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat yang dimuat di Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya disebutkan bahwa identitas Melayu dalam konteks Kalimantan Barat dimulai sejak Islam masuk ke wilayah ini.
Disebutkan pula bahwa Melayu digunakan untuk menyebut identitas penduduk Kalimantan Barat yang beragama Islam.
Meskipun begitu, belum ditemukan hasil-hasil kajian yang dapat menunjukkan sejak kapan persisnya awal mula penggunaan istilah Melayu sebagai identitas etnik di Kalimantan Barat.
5. Suku Punan
Suku Punan adalah salah satu rumpun Suku Dayak tertua yang persebaranya cukup signifikan di wilayah Pulau Kalimantan.
Menjadi salah satu kelompok pertama yang mendiami pulau Kalimantan, orang suku Punan hidup dengan menerapkan cara hidup manusia prasejarah, yakni dengan berburu dan meramu di dalam hutan.
Istilah ‘Punan’ sendiri lebih diartikan sebagai sebutan umum untuk kelompok masyarakat pemburu dan peramu yang dulunya hidup secara berpindah-pindah di hutan Kalimantan.
Oleh karena itu, orang suku Punan lebih dikenal sebagai ‘penjaga hutan rimba’ karena mereka hidup dan memiliki persebaran populasi yang banyak ditemui di dalam hutan dan terpisah dari sub-sub Suku Dayak lainnya.
Sayangnya sejak dulu, pemerintah telah melabeli suku Punan sebagai suku terasing layaknya suku Kubu yang ada di Sumatera.
Pelabelan ini tentunya tidak terlepas dari pola hidup orang Punan yang berpindah-pindah di dalam hutan dan tidak memiliki tempat tinggal permanen karena mengikuti ritme alam.
Orang Punan kerap berpindah-pindah tak hanya karena harus mengikuti siklus alam, namun juga untuk menemukan rasa aman dan jauh dari gangguan suku lain.
Sejak dulu, kegiatan berburu, mencari sagu, mengolah tumbuhan, dan menangkap ikan masih menjadi tradisi suku Punan yang diwariskan turun-temurun.
Mereka pun masih mempertahankan hidup secara berkelompok dalam hutan dan terpisah dari sub Suku Dayak lain.
Namun seiring perkembangan zaman, sudah ada beberapa generasi suku Punan yang hidup berdampingan dengan suku Dayak lainnya serta suku-suku pendatang.
Sejak akhir abad ke-19, suku Punan mulai bermukim di dusun-dusun kecil, dan memasuki abad ke-20 mereka mulai melakukan kegiatan berladang sebagaimana suku Dayak lainnya lakukan.
Kendati demikian, suku Punan hingga kini masih terus dikenal dengan julukuan ‘penjaga hutan rimba’.
Suku Punan dianggap sebagai suku bangsa yang hidup berpindah-pindah di pedalaman hutan Kalimantan Barat hingga Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Bertambahnya jumlah anggota dalam suku yang kian massif membuat orang Punan harus menyebar supaya bisa bertahan hidup.
Akhirnya, mereka mulai memisahkan diri dan membentuk kelompok kecil untuk mencari wilayahnya sendiri.
Hal ini membuat suku Punan akhirnya menyebar dan kerap bermukim di tengah hutan terpencil atau bagian hulu sungai.
Di wilayah Pulau Kalimantan, orang Punan masih bisa ditemui di Kabupaten Bulungan (Kalimantan Utara) dan Kabupaten Kutai (Kalimantan Timur).
6. Suku Tidung
Suku Tidung merupakan sub-suku dari Suku Dayak Murut, salah satu dari tujuh suku besar yang tinggal di wilayah Kalimantan Utara.
Merupakan suku asli Kalimantan, suku Tidung dulunya pernah memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung. Namun, Kerajaan Tidung harus punah karena adanya politik adu domba dari pihak Belanda.
Nama ‘tidung’ sendiri diambil dari kata ‘tiding atau tideng’ yang berarti bukit atau gunung.
Meskipun begitu, kebanyakan masyarakat suku Tidung bermukim di wilayah pesisir dan menganut ajaran Islam. Mengingat suku Tidung merupakan salah satu suku asli Nunukan yang sebagian besar memeluk agama Islam dan mengakui dirinya adalah orang Dayak.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan suku-suku lainnya yang sudah memeluk Islam, biasanya mereka tidak menganggap diri mereka sebagai orang Dayak.
Namun nyatanya, tak semua orang Tidung menyebut diri mereka sebagai keturunan Dayak. Ada pula yang menyebut dirinya sebagai Tidung Ulun Pagun, kelompok di daerah pesisir.
Berbicara soal asal usulmnya, orang Tidung meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari daratan Asia yang bermigrasi sekitar abad ke 5 hingga 1 Sebelum Masehi.
Pada masa itu, terjadi eksodus manusia dari daratan Asia menuju pulau-pulau di sebelah Timur dan Selatan. Mereka diduga mendarat di sekitar daerah Labuk dan Kinabatangan, Provinsi Kalimantan Utara dan menyebar ke daerah-daerah pesisir pantai dan pulau-pulau di sebelah Timur seperti Pulau Sebatik, Tarakan, dan Bulungan Nunukan.
Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa suku Tidung merupakan Dayak Pantai yang berasal dari daerah pegunungan di Menjelutung.
Sementara, suku Tidung yang mendiami Pulau Sebatik sebagai bagian dari Nunukan disebut sebagai Ulun Pagun (orang kampung).
Terlepas dari sejarahnya, kini orang-orang Tidung sudah tersebar di sepanjang wilayah timur laut Pulau Kalimantan seperti di Kecamatan Nunukan dan Kecamatan Sebatik Barat.
Dalam berkomunikasi, orang Tidung memiliki bahasa daerah yang hampir sama dengan bahasa Melayu.
Soal kebudayaannya, suku Tidung punya kesenian yang diunggulkan dan dibanggakan, yakni seni pahatan yang ada pada unsur alat musik atau berbagai instrumen bangunan.
Selain itu, suku Tidung juga punya aneka jenis alat tangkap, permainan, dan makanan khasnya sendiri.
7. Suku Tionghoa
Suku Tionghoa menjadi salah satu etnis yang populasinya cukup banyak di Kalimantan Barat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), populasi orang Tionghoa di Kalimantan Barat mencapai 358.451 jiwa pada tahun 2010.
Populasi Tionghoa ini terkonsentrasi di beberapa kota, seperti Pontianak, Singkawang, dan Ketapang.
Menilik dari sejarahnya, suku Tionghoa bisa masuk ke Kalimantan Barat karena adanya hubungan antara Tionghoa daratan dengan Kalimantan Barat pada abad ke-7.
Hubungan tersebut sudah terjalin lama sebelum adanya gelombang migrasi Tionghoa pada abad-abad berikutnya.
Migrasi Tionghoa gelombang pertama datang dari pasukan Dinasti Yuan pada tahun 1292-1293 yang merupakan orang Tartar dan Han yang menyerang Jawa atas perintah Kubilai Khan.
Dalam perjalanan menuju Jawa, mereka sempat singgah di Kalimantan Barat. Namun, perjalanan ke Jawa membawa malapetaka hingga membuat mereka lebih memilih untuk membelot dan menetap di Kalimantan Barat.
Sementara itu, gelombang kedua datang pada periode 1405-1433 di mana sebagian besar merupakan awak kapal Laksamana Cheng Ho.
Kini, jejak keturunan dari awak kapal Cheng Ho biasa ditemukan dari adanya keberadaan komunitas Islam Tionghoa bermazhab Hanafi di Sambas.
Sementara itu, gelombang ketiga terjadi pada tahun 1740-1760. Menjadi gelombang migrasi terbesar, kedatangan tersebut tidak lepas dari penemuan emas di Monterado.
Pada masa itu, Panembahan Kerajaan Mempawah dan Sultan dari Sambas mendatangkan orang-orang Tionghoa untuk menjadi tenaga tambang di sana.
Karena posisi Monterado tidak dapat diakses melalui laut, hasil tambang tersebut harus ditransportasikan orang Tionghoa melalui desa pesisir bernama Singkawang.
Mereka pun terkesima melihat desa ini karena posisi Singkawang dianggap punya fengshui yang bagus. Ini menjadi salah satu alasan utama yang menyebabkan banyak orang Tionghoa yang mulai menetap di Singkawang.
Di
masa Indonesia merdeka, orang Tionghoa mendapatkan tantangan baru karena tidak
diperbolehkan membuka usaha di atas tingkat kabupaten. Represi ini pun semakin
menguat dengan adanya peraturan diskriminatif pada masa Orde Baru.
Namun
pada akhirnya, diskriminasi dari pemerintah mulai surut pada era Reformasi. Hingga
akhirnya, orang Tionghoa di Kalimantan Barat sudah menjadi bagian dari
masyarakat Indonesia.
Nah, itu tadi informasi yang bisa Mamikos rangkumkan untuk kamu seputar deretan suku-suku yang mendiami Pulau Kalimantan.
Saat ini, Pulau Kalimantan terbagi menjadi lima provinsi di mana tiap daerahnya terdapat beragam suku dengan adat istiadat, budaya, dan kebiasaan yang berbeda-beda.
Buat kamu yang ingin mengulik lebih jauh lagi seputar suku-suku di Indonesia lainnya, kamu bisa kunjungi situs blog Mamikos dan temukan informasi selengkapnya di sana.
Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idamanmu: