Tarik Ulur Thrifting vs Fast Fashion?
Tarik Ulur Thrifting vs Fast Fashion? – Istilah thrifting menjadi trend setelah banyak yang meramaikannya melalui kanal Youtube, Instagram, bahkan Tiktok. Thrifting sendiri adalah kegiatan berburu baju-baju bekas yang bernilai tinggi (pada masanya), unik, vintage dan langka. Kegiatan bisnis ini sebenarnya sudah lama dikenal. Target pasar awalnya adalah masyarakat dengan pendapatan rendah, lalu hasil penjualannya akan didonasikan kepada yang membutuhkan. Salah satu thrift shop yang memiliki tujuan ini adalah Goodwill Industries International Inc. dari Amerika Serikat. Beberapa orang menjadikan thrifting sebagai hobi karena menurut mereka, kegiatan ini cukup menantang. Menemukan model baju yang sudah langka dan ternyata memiliki harga tinggi saat baju tersebut pertama kali dijual menjadi kebanggaan tersendiri. Namun, akhir-akhir ini thrifting semakin banyak digiati seiring maraknya produsen fast fashion mengeluarkan model baru dalam rentang waktu 6 – 10 minggu saja. Masyarakat saat ini mudah tergiur untuk membeli model terbaru. Padahal, dikutip dari dealnews.com, umur baju yang sering dipakai dan tidak dirawat dengan baik saja bisa mencapai 3 tahun, apalagi jika dibiarkan menumpuk begitu saja. Bisa dibayangkan betapa banyak baju pribadi yang menumpuk. Baju – baju ini pun setelah disimpan begitu lama, akan ada waktunya dibersihkan dan dibuang begitu saja tercampur dengan sampah lain, tanpa dikelompokkan terlebih dahulu.
Tarik Ulur Thrifting vs Fast Fashion?
Kembali lagi ke trend thrifting, kebiasaan sekedar “ikut–ikut” trend fashion tanpa tahu tujuan dan alasannya demi menjaga eksistensi dalam pergaulan semakin meningkat. Karena itu, banyak orang melihat fenomena ini sebagai peluang usaha, yaitu membuka thrift shop. Berdasarkan data ibisworld.com, pertumbuhan thrift shop di Amerika periode 2015–2020 saja mencapai 1,4% dengan jumlah bisnis ± 25.225. Di Indonesia, kita bisa menemukan thrift shop yang beragam di berbagai kota. Untuk Surabaya, kita bisa menemukannya di daerah Tugu Pahlawan saat pagi hari, daerah Gembong, ataupun ada beberapa toko offline yang bisa dikunjungi. Melalui media online, kita akan menemukan ratusan atau bahkan ribuan usaha sejenis. Lewat Instagram saja, dengan dengan mengetik “thrift” di kolom search, entah ada beberapa akun yang ditampilkan, belum lagi hashtag mengandung kata thrift dengan jumlah post antara 53.1K post (#thriftdress)-8M post (#thrift). Sebenarnya, bagaimana sih dampak dari trend ini bagi lingkungan? Apakah memang memiliki dampak positif atau justru hanya menjadi tren yang membawa dampak negatif?
Jejak Air
Dilansir dari liputan6.com, rupanya banyak dari baju–baju tersebut yang diselundupkan melalui pelabuhan Malaysia atau Singapura yang berasal dari negara–negara yang memiliki perekonomian lebih tinggi daripada Indonesia. Tidak disebutkan secara detail negara tersebut, namun yang pasti adalah kebanyakan baju ini berasal dari negara yang memiliki empat musim. Perlu diingat bahwa tidak seluruhnya adalah hasil selundupan. Bisa dibayangkan, betapa panjangnya perjalanan baju–baju ini, bukan? Dari negara asal baju–baju ini dipasarkan, dibeli oleh pelanggan, digunakan beberapa kali, dibuang, dikumpulkan kembali untuk dipasarkan sebagai barang vintage di negara–negara yang kebanyakan memiliki ekonomi di bawah negara asal. Ada istilah carbon footprint atau jejak karbon. Jejak karbon adalah jumlah greenhouse gases yang dihasilkan dari setiap aktivitas sehari–hari. Semakin banyak jejak karbon yang dihasilkan, maka semakin hal tersebut mencemari lingkungan. Setiap proses yang ditempuh tentu menghasilkan jejak karbon. Perjalanan panjang baju–baju ini menghasilkan jejak karbon yang cukup besar sehingga bisa dikatakan tidak ramah lingkungan.
Lalu, tentu saat baju thrift sudah sampai ke tangan penjual kedua, baju – baju tersebut tidak langsung dijual begitu saja. Tidak ada pelanggan yang membeli jika baju tersebut masih bau ataupun kotor. Penjual harus mencuci baju–baju tersebut. Air hasil cucian pasti dibuang begitu saja karena bukan rahasia lagi sistem pembuangan air kita langsung dialirkan begitu saja ke sungai. Limbah cucian ini dikenal sebagai greywater. Greywater adalah limbah air hasil cucian (baju ataupun peralatan), mandi, dan sebagainya di luar limbah toilet. Greywater ini sangat berbahaya apabila dibuang begitu saja tanpa diolah karena mengandung mikroba dan zat–zat tertentu yang dapat meracuni kehidupan ekosistem air. Pada tahun 1996–2005, tercatat greywater dari bidang industri 363 Gm3/tahun dan limbah domestic 282 Gm3/tahun yang bila total menjadi 645 Gm3/tahun (UNESCO-IHE, 2013). Padahal semakin bertambah tahun, jumlah penduduk yang semakin meningkat tentu akan meningkatkan jumlah penggunaan air. Jadi, bayangkan saja, dibukanya banyak thrift shop dan bila banyak yang mencuci baju dagangannya, ditambah kita tidak tahu apakah deterjen yang digunakan ramah lingkungan atau tidak, menghasilkan limbah air cucian yang melimpah, lalu dibuang begitu saja ke sungai dan merusak ekosistem di sungai.
Green Lifestyle
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa budaya thrifting ini sangat membantu perekonomian masyarakat dan bisa juga sebagai solusi untuk mengurangi jumlah sampah fashion dengan cara reuse. Namun, dengan penjelasan di atas, dapat kita sadari bahwa tetap ada hal–hal tanpa kita sadari ternyata menimbulkan dampak lain ke lingkungan sekitar. Salah satu solusi yang perlu kita lakukan adalah gunakan barang yang kita miliki semaksimal mungkin, beli barang bila memang dibutuhkan saja, dan jangan menumpuk–numpuk barang yang tidak digunakan. Jangan hanya karena tidak mau tertinggal tren kita justru ikut–ikut membeli barang yang mungkin tidak kita butuhkan dan ujung–ujungnya hanya menumpuk begitu saja di lemari kita.
Kontributor: Johana Frieda Imanuella Tambunan
Klik dan dapatkan info kost di dekatmu: