Contoh Prolog Novel Kehidupan, Sejarah Pribadi, dan Cinta yang Menarik

Contoh Prolog Novel Kehidupan, Sejarah Pribadi, dan Cinta yang Menarik – Jika kamu gemar membaca novel, pasti tidak asing lagi dengan istilah prolog.

Nah, prolog sendiri adalah bagian pembuka dari suatu karya tulis yang sering digunakan di dalam novel, drama, dan lain sebagainya.

Untuk lebih mudah memahami seputar prolog, yuk simak berbagai contoh prolog dalam artikel ini.

Berikut Contoh Prolog Novel Kehidupan, Sejarah Pribadi, dan Cinta Terbaru

unsplash.com/rumandraisin

Secara umum, prolog diartikan sebagai pengantar naskah yang bisa berupa dialog atau teks berisi penggalan kisah dengan tujuan membuat audience tertarik membaca suatu karya sastra sampai akhir. Biasanya, sebuah prolog ditulis oleh penulis sebagai bagian dari ceritanya.

Meskipun
begitu, prolog juga bisa ditulis oleh orang lain. Prolog yang baik umumnya bisa
berdiri sendiri dan mencerminkan esensi sebuah drama atau film.

Umumnya, prolog sering digunakan untuk eksposisi, di mana prolog menjelaskan cerita dengan memberi pembaca beberapa informasi latar belakang, atau tentang apa yang terjadi dalam cerita.

Nah, di bawah ini ada beberapa contoh prolog dalam novel berbagai tema yang bisa menjadi gambaran kamu.

Contoh Prolog Novel Kehidupan

https://twitter.com/penerbitkpg

Judul Novel: Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer

Karya: Pramoedya Ananta Toer

Masa
remaja merupakan masa di mana manusia mulai melakukan perubahan dengan membuka
jendela dunia dan melihat kehidupan besar. Namun, hal ini bertolakbelakang
dengan para perawan remaja di masa pendudukan Jepang (1942-1944).

Para
perawan remaja harus menjalani hidupnya dengan menderita dan serba kesusahan.
Mereka pun sulit untuk mendapatkan bahan makanan hingga harus melakukan kerja
paksa yang jauh dari desanya.

Pada tahun 1943, Pemerintah Balatentara Pendudukan Dai Pon memberikan janji kepada para pemuda Indonesia untuk mendapatkan kesempatan belajar ke ke Tokyo dan Shonanto, Jepang.

Namun, janji ini tidak diumumkan secara resmi dan hanya disebarkan dari mulut ke mulut saja. Alasannya adalah untuk menghilangkan jejak kejahatan Jepang.

Pada zaman pemerintahan Belanda, yang paling berkuasa adalah Pangreh Praja. Sementara itu, pada zaman penjajahan Jepang, Pangreh Praja melaksanakan anjuran atau perintah Sendenbu.

Jadi, Sendenbu meneruskan kepada Pangreh Praja diteruskan kepada Bupati dan kemudian kepada Camat, Lurah dan langsung disampaikan pada perabot desa dan penduduk.

Kisah Sumiyati dan Para Perawan

Sumiyati adalah salah satu perawan remaja yang menjadi korban, ia bercerita kepada Sukarno Martodiharjo bahwa janji itu hanyalah bentuk usaha dalam mempersiapkan rakyat Indonesia ke arah kemerdekaan nanti.

Soeryono
Hadi, mantan anggota pimpinan LKBN antara perwakilan Surabaya bercerita bahwa
kakaknya pada tahun 1943 pernah berkata bahwa pemerintah pendudukan Dai Nippon
menyerukan kepada setiap orangtua yang memiliki anak perempuan agar segera
mendaftarkan kepada pemerintah untuk disekolahkan.

Umumnya, para perawan remaja pergi bukan karena kerelaan orangtua. Namun, mereka takut pada ancaman Jepang yang melakukan tugas dengan kejam dan penuh kekerasan.

Hal ini membuat para perawan remaja jatuh dalam cengkeraman Jepang dan sulit untuk dapat melepaskan diri.

Para perawan remaja pergi menuju kapal bukannya diantar keluarga, tetapi tentara Jepang malah menjemput mereka di rumah masing-masing.

Mereka dikumpulkan di suatu tempat untuk menunggu sampai tersedia kapal yang akan membawa mereka.

Di tempat ini, para perawan remaja diangkut ke pelabuhan. Ketika menaiki kapal, mereka sudah menggunakan seragam putih, blouse, rok topi putih, kaus kaki putih, dan sepatu hitam.

Mereka juga membawa tas pakaian seragam. Setelah berada di kapal, mereka baru diberikan kebebasan untuk berpakaian.

Kebutuhan Seks

Jepang
memilih para perawan remaja yang belum dewasa bukan tanpa tujuan. Mereka
dikumpulkan untuk memenuhi impian seks serdadu Jepang pada satu pihak dan agar
tidak mendapatkan perlawanan.

Hal ini dibuktikan oleh kisah dari salah satu dari para perawan remaja yang bercerita kepada Makhudum Sati.

Gadis itu berkata bahwa lepas 1,5 mil dari pelabuhan, para perwira Jepang serentak melakukan serbuan terhadap mereka dengan cara memperkosanya.

Mereka pun berlarian di kapal untuk mencoba menyelamatkan diri dengan terjun ke laut. Sumiyati, sang korban menceritakan pengalamannya pada saat itu dengan bercucuran air mata.

Dia berkata bahwa ketika asramanya yang berisikan 50 perawan remaja Jawa didatangi oleh sejumlah besar serdadu Jepang dan menggilir mereka gelombang demi gelombang.

Setelah menengok masa lalu terkait hubungan dengan Jepang yang buruk, semakin meyakinkan bahwa para perawan remaja dari Jawa tersebut mendapat perlakuan buruk hingga hari akhir kekuasaan Jepang di Indonesia.

Pada tahun 1945, Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan membuat Jepang lepas tangan tanpa tanggung jawab membiarkan para perawan remaja begitu saja.

Para perawan remaja tidak bisa pulang ke kampung halamannya dan tidak mendapatkan pelayanan, serta perlindungan hukum layaknya orang buangan.

Tak hanya wanita Indonesia saja yang dijadikan budak seks serdadu Jepang, diperkirakan ada 20.000 wanita di negara-negara Asia lainnya juga seperti Korea Selatan dan Filipina.

Ironisnya, hingga kini pemerintahan Jepang tetap menolak untuk bertanggung jawab secara hukum.

Mereka berdalih dengan alasan para korban adalah jugun ianfu (perempuan penghibur) yang bekerja secara sukarela bukan karena budak seks.

Lantas,
berapa persen dari sekian para perawan remaja itu yang dapat berhasil kembali
ke pangkuan keluarga? Hingga kini tidak ada yang bisa memastikannya.

Hal
menarik yang menjadi keunggulan dari buku ini adalah terdapat banyak bukti
akurat berupa adanya wawancara secara langsung oleh salah satu para perawan
remaja maupun keluarga korban. Sehingga, isi buku ini benar-benar sesuai fakta
tanpa dibuat secara khayalan.

Cerita yang terdapat pada buku ini menggambarkan perjuangan yang begitu besar oleh para perawan remaja pada zaman penjajahan Jepang. Mereka hidup dengan penuh penderitaan, ketakutan, dan terbelenggu oleh kejamnya pemerintahan Jepang.

Contoh Prolog Novel Sejarah Pribadi

laksmimutiara.com

Judul
Novel: Laut Bercerita

Karya: Leila S. Chudori

Matilah
engkau mati

Kau
akan lahir berkali-kali….”

Ada
seorang penyair yang pernah menuliskan sebait puisi ini di atas secarik kertas
lusuh. Kala itu, dia masih berambut panjang menggapai pundak dan bersuara parau
karena banyak berorasi di hadapan buruh.

Ia menyelipkan secarik kertas lusuh itu ke dalam sebuah buku tulis bersampul hitam dan mengatakan itulah hadiah darinya untuk ulang tahunku yang ke­25.

Sembari mengepulkan asap rokoknya yang menggelung­gelung ke udara, dia mengatakan bahwa aku harus selalu bangkit, walau aku mati.

Namun,
hari ini aku akan mati dan aku pun tak tahu bisa bangkit atau tidak. Setelah
hampir genap tiga bulan aku disekap dalam gelap, mereka membawa aku ke sebuah
tempat yang hitam dan kelam.

Selama
tiga bulan, mataku dibebat kain apak yang dibuka hanya sesekali ketika aku
berurusan dengan kencing dan tinja. Aku ingat pembicaraanku dengan Sang
Penyair. Dia berkata kepadaku bahwa dia tak takut gelap karena dalam hidup ada
yang namanya terang dan gelap, ada pula perempuan dan lelaki.

Kata Sang Penyair, “Gelap ada lah bagian dari alam”. Namun, jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda bahwa kita sudah menyerah.

Kelam juga melambangkan kepahitan, di mana satu titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi.

Aku tak tahu apakah sekarang aku sedang mengalami kegelapan atau kekelaman. Mataku dibebat, tanganku terborgol.

Apakah ini gelap yang kelak menjadi pagi yang lamat-lamat mengurai cahaya matahari pagi? Atau, gelap seperti sumur yang tak menjanjikan dasar?

Penyekapan

Hampir sejam kami berputar-putar, aku pun sudah bisa menebak ada empat lelaki yang mendampingiku.

Setelah berbulan-bulan mereka menyekapku di tempat gelap, kini aku sudah mulai mengenal bau tubuh mereka.

Ada satu lelaki menyetir yang jarang berbicara. Seseorang di sebelahnya jarang mengeluarkan komentar, kecuali jika harus membentak kedua lelaki yang sedang mengapitku di kiri dan kakan kursi belakangku.

Dialah si Mata Merah, satu-satunya dari mereka yang wajahnya pernah kulihat dan kukenali dari bau rokok kreteknya yang menghambur dari mulutnya.

Di
sebelah kanan dan kiriku sudah pasti kedua lelaki besar yang biasa kusebut
dengan Manusia Pohon dan si Raksasa. Mereka identik dengan bau keringat
tengiknya.

Inilah
celakanya jika kita sejak kecil sudah diajarkan menajamkan indra penciuman,
mengingat ibuku adalah seorang koki yang hebat. Dalam sekejap, aku sudah bisa
membedakan aroma tubuh satu orang dengan yang lainnya.

Setelah
lebih dari sejam kami berada di dalam mobil dengan mataku yang masih ditutup
dan tangan terikat, akhirnya di Manusia Pohon menarikku keluar mobil. Bersama-sama
mereka menggiringku ke sebuah tempat dengan udara terbuka.

Aku
pun di tendang agar berjalan dengan cepat. Jalanan semakin menanjak dan aku mendengar
debur ombak yang kencang. Aku juga bisa mencium aroma asin laut di antara angin
yang mengacak-acak rambut.

Sekali
lagi, suara ombak yang deras itu pecah tidak seirama. Di manakah aku? Apakah
kami masih berada di wilayah Jakarta?

Karena aku tampak sering berhenti untuk mengira-ngira keberadaanku di mana, sebuh tangan besar pun mendorong punggungku agar aku berjalan lebih cepat.

Setelah berjalan cukup jauh, kini salah satu dari mereka berteriak agar aku menaiki sebuah speedboat.

Sepanjang Lautan

Aroma asin laut kembali menusuk cuping hidungku. Terdengar seseorang menyalakan motor speedboat itu dan seorang yang lain menendang punggungku agar aku berlutut.

Begitu saja speedboat itu melaju. Walau wajahku masih tertutup dengan karung, aku masih bisa merasakan cipratan air laut.

Aku bisa merasa angin laut menyelip di antara pori­pori kain karung yang menyelimuti mukaku yang penuh darah dan luka.

Rasa perih luka bibir dan tulang hidungku yang patah semakin menjadi-jadi karena asin air laut, namun angin yang menerpa itu terasa seperti sebuah pembebasan.

Debar jantung semakin menggebu-gebu dada seolah ia siap mencelat keluar, tetapi aku mencoba menghadapi suara permukaan laut yang dibelah speedboat itu.

Tak terlalu lama, speedboat terasa melambat. Mungkin kamu sudah sampai di tempat tujuan, entah itu pulau apa, aku pun takt ahu.

Aku dipaksa turun dari speedboat. Agak sulit rasanya untuk berjalan di tepi tebing dengan kaki telanjang, sementara aku bisa mendengar suara ombak dari bawah sana.

Sepasang kakiku hanya berfungsi setengah karena selalu menjadi sasaran ditindas kaki meja atau ditendang hingga retak.

Terdengar si Perokok berteriak dengan suara parau agar aku berjalan dengan langkah yang lebih cepat.

Perjalanan
pun semakin menanjak. Rasanya, kami sedang mendaki sebuah bukit karang yang tak
terlalu tinggi. Suara ombak yang datang dan pergi masih bisa aku dengar.

Hempasan
ombak pertama. Hempasan ombak kedua. Terdengar pula langkah sepatu lars yang
menginjak kerikil. Satu tangan besar membuka bebat kain penutup mataku dengan
kasar.

Dengan
pandanganku yang masih buram karena terlalu lama menatap gelap, aku baru sadar
bahwa kamu sedang berdiri di atas bukit karang di tubir pantai. Ternyata, matahari
belum sepenuhnya turun. Lantas, pukul berapa kah kini? Apakah sudah senja?

Pulau ini tampak kosong dan sunyi. Kulihat serombongan burung belibis yang terbang rendah, mendekati dan mengusap permukaan laut. Kini aku mahfum. Mereka telah membawaku ke tepi pantai, ke tepi kematian.

Kematian yang Mendekat

Kini
mereka mengikat tanganku dengan besi pemberat di sebelah kiri kemudian kanan.
Sesekali aku menggeliat berusaha mencari celah, meskipun kemungkinan aku
berakhir sia-sia.

Aku
tidak mau memberikan tangan dan sengaja mengeraskan kepalku. Salah satu dari
mereka akhirnya memukul mukaku, ah. Asinnya darah. Kau akan mati. Namun, kau
akan mati pelan-pelan. Demikian kata si Mata Merah kepadaku dengan semburan bau
rokoknya.

Mereka
semua pun tertawa dengan lantang. Terdengar suara kepak sayap serombongan
burung yang seolah-olah ingin membesarkan hatiku.

Akhirnya, si Mata Merah mendorongku agar aku melangkah maju. Mereka kemudain menyerimpung kedua kakiku dengan besi hingga akhirnya mustahil untukku bisa bergerak lagi.

Salah satu dari mereka kemudian menendang betisku hingga aku tersungkur.

Sekali
lagi, si si Mata Merah itu memegang bahuku dari belakang dan memaksaku agar aku
berlutut. Tuhan, apakah kita sekarang semakin dekat?  Kini, kau terasa semakin ingin memelukku.

Dulu,
aku selalu mengira bahwa pada saat kematian tiba, akan ada gunung meletus atau
gempa dan daun­daun gugur. Tak lupa aku bayangkan dunia mengalami separuh
kiamat.

Karena
itu, aku mengira ketika aku tenggelam maka kematianku akan menghasilkan
guncangan yang begitu besar. Ternyata, semua itu hanya ilusi semata.

Kematianku
tak terasa lebih seperti saat seorang penyair yang menuliskan tanda titik pada
akhir kalimat sajaknya. Atau, seperti listrik yang mendadak mati. Hening,
begitu sunyi. Mungkin ini hanya imajinasi, namun aku mendengar cericit burung.

Begitu saja, berkat doa para burung, aku pun sudah sampai di dasar laut. Dan begitu saja, ketika aku merasa dirubung oleh ratusan ikan, lantas kepalaku terasa berdebam keras di atas salah satu koral otak.

Mereka, gerombolan ikan itu menciumku, mungkin merasa belas kasih kepada mayat yang mati dengan sia-sia.

Sementara ikan­-ikan mencium pipiku, seekor kuda laut melayang­layang di hadapanku, aku mendengar suara ketukan yang keras. Sebuah ketukan pada sebilah papan kayu.

Contoh Prolog Novel Cinta

https://www.kangibay.net/

Judul
Novel: Ancika: Dia yang
Bersamaku Tahun 1995

Karya: Pidi Baiq

Kisah
yang akan saya bagikan ini dimulai dari masa remaja saya, yakni 24 tahun silam.
Ini bukanlah suatu kisah yang luar biasa, namun merupakan kisah nyata tentang
saya. Kisah yang saya alami secara langsung bersama seorang laki-laki bernama
Dilan.

Itu
adalah waktu dan kenangan saat-saat manis dan pahit dari masa lalu kami berdua.
Dan sebetulnya, kisah ini juga tentang bagaimana saya menemukan diri saya
sendiri.

Kala
itu, saya masih berusia 17 tahun. Saya merupakan seorang anak SMA biasa yang
tidak pernah menjadi bagian dari kepengurusan OSIS. Sementara, Dilan sudah
kuliah di salah satu perguruan tinggi yang ada di Bandung.

Dia
memiliki sepeda motor CB dan selalu mengenakan jaket US Army atau jaket jeans
dengan bendera Amerika Serikat yang dipasang terbalik di bahunya. Entah apa
maksudnya, saya tidak mengerti. Sama seperti saya tidak mengerti apa-apa
tentang dia.

Seluruh
penampilannya memancarkan diri sebagai seorang lelaki berandalan yang sudah
bertahun-tahun tidak praktik. Dan kabarnya, dilan adalah mantan panglima tempur
geng motor.

Itu fakta. Kelak, saya tahu dia punya luka tusukan di tangan kirinya sebagai akibat perkelahian yang dia lakukan di masa SMA.

Dia juga memiliki bekas luka tusukan pada bagian perutnya yang telah menyebabkan dia koma pada suatu hari di masa lalu.

Saya mulai bertemu dengannya di pertengahan tahun 1995, di mana awalnya saya berpikir, dia sama sekali bukan tipe laki-laki yang membuat saya tertarik.

Maksud saya, dia tidak jelek-jelek amat, tapi gadis manis dalam diri saya tidak menyukai cara dia memperlakukan saya.

Dia
kerap bertingkah aneh dan menyebalkan pada saat yang sama. Saya pikir dia hanya
anak brengsek yang tidak berharga. Pada awalnya seperti itu.

Tetapi
ketika saya mulai bertemu lagi dengannya, melalui beberapa peristiwa yang
terjadi secara kebetulan, segalanya berubah. Saya tahu apa yang terjadi, dan
mulai menyadari beberapa hal baru tentang dia.

Hubungan yang Berkembang

Dan akhirnya, hubungan kami pun berkembang. Secara bertahap, saya dan Dilan tumbuh menjadi lebih dekat, bahkan dia sudah dianggap menjadi seperti bagian dari anggota keluarga saya.

Dia sering datang ke rumah dan membantu saya mengerjakan tugas sekolah di ruang tamu, bersama aroma hot lemon tea dan lampu gantung motif kelopak bunga.

Dan Dilanlah orang yang pertama kali saya pikirkan ketika saya mendapatkan PR dari guru, atau mendapat nilai ulangan harian.

Semua hal dari dirinya, benar-benar membuat saya terpikat dan menumbuhkan beberapa perasaan yang cukup serius di dalam diri saya.

Saya kemudian merasa mencintainya di luar kendali saya, karena sejujurnya saya ini bukan orang yang mudah jatuh cinta.

Tapi mungkin memang begitulah rasa cinta, sangat misteri, di mana kata orang, Sains akan kewalahan men jelaskannya dan Matematika pun tak akan mampu memprediksinya.

Kira-kira seperti itulah ringkasannya. Sekarang, sebelum saya menceritakan semuanya, rasanya akan afdal kalau kamu mengenal lebih dulu siapa saya, akan lebih paham kalau kamu mengetahui latar belakang saya dan detail-detail duniawi lainnya.

Saya pikir, itu harus keluar cukup awal. Bukan berarti penting, tetapi barangkali bisa membuat cerita menjadi kuat.

Nah, itulah informasi yang bisa Mamikos bagikan kepada kamu terkait tiga contoh prolog pada novel dengan tema berbeda.

Semoga informasi di atas bisa menambah wawasan kamu terkait contoh prolog novel ya! Jika kamu butuh informasi menarik lainnya, kamu bisa kunjungi blog Mamikos dan cari informasinya di sana.


Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idamanmu:

Kost Dekat UGM Jogja

Kost Dekat UNPAD Jatinangor

Kost Dekat UNDIP Semarang

Kost Dekat UI Depok

Kost Dekat UB Malang

Kost Dekat Unnes Semarang

Kost Dekat UMY Jogja

Kost Dekat UNY Jogja

Kost Dekat UNS Solo

Kost Dekat ITB Bandung

Kost Dekat UMS Solo

Kost Dekat ITS Surabaya

Kost Dekat Unesa Surabaya

Kost Dekat UNAIR Surabaya

Kost Dekat UIN Jakarta