Contoh Kearifan Lokal di Jawa Tengah beserta Maknanya Lengkap

Contoh Kearifan Lokal di Jawa Tengah beserta Maknanya Lengkap – Jawa Tengah merupakan salah satu bagian Provinsi dan bagian dari Pulau Jawa yang memiliki kearifan lokal serta kekayaan budaya yang unik.

Deretan
kearifan lokal Jawa Tengah nyatanya tidak hanya dihargai oleh penduduk
setempat, namun juga sangat disukai oleh wisatawan dari berbagai belahan dunia,
lho.

Lantas, apa sajakah kearifan lokal Jawa Tengah tersebut? Yuk, simak ulasan lengkapnya dalam artikel ini.

Berikut Deretan Contoh Kearifan Lokal di Jawa Tengah beserta Maknanya

goodnewsfromindonesia.id

Pasca
jatuhnya rezim Presiden Soeharto di tahun 1998, Indonesia mulai menumbuhkan
kesadaran dan kearifan lokal.

Kearifan lokal merupakan identitas atau kepribadian budaya bangsa yang membentuk jati diri bangsa tersebut.

Nah, kearifan lokal ini menjadi wujud dari nilai budaya masyarakat lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Selain
itu, kearifan lokal juga dapat dimaknai sebagai kemampuan menata, beradaptasi, menumbuhkan
pengaruh alam, serta budaya lain yang menjadi medan penggerak transformasi.

Nah, setiap daerah di Indonesia memiliki budaya lokalnya masing-masing, tak terkecuali Jawa tengah. Berikut ini adalah beberapa contoh kearifan lokal Jawa Tengah yang perlu kamu ketahui.

1. Jumat Kliwonan

Menurut
jurnal karya Bagus Wiranto (2018) berjudul Tradisi Jumat Kliwonan sebagai
Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat
Kliwonan didefinisikan sebagai hari istimewa yang ada pada sistem penanggalan
Jawa.

Dalam
tradisi Jawa, Jumat Kliwonan dikenal dengan konsep lukat yang berarti
dihapuskan, dilepaskan, dibersihkan, dibatalkan, disucikan dari segala
marabahaya sehingga memperoleh keselamatan.

Salah
satu contoh kelompok masyarakat pesisir yang masih memegang teguh tradisi
leluhur yang diwariskan dan masih diwariskan hingga saat ini adalah masyarakat nelayan
Kabupaten Cilacap.

Dalam
tradisi Jumat Kliwon ini terdapat beberapa ritual dan larangan yang wajib
dipatuhi oleh seluruh nelayan Kabupaten Cilacap.

Nah,
aturan-aturan ini terbentuk secara bersamaan dengan kesadaran yang tinggi dan
berdampak terhadap kehidupan dan pola hidup nelayan Kabupaten Cilacap.

Hari
Jumat Kliwon tidak diartikan sebagai hari yang mengharuskan untuk berhenti dari
segala kegiatan secara keseluruhan.

Namun, mengganti kegiatan utama dengan kegiatan tambahan yang bernilai sosial dan religi yang pada dasarnya tidak bisa dinilai dengan materi semata.

Dari
tradisi Jumat Kliwon, masyarakat nelayan pada khususnya dan masyarakat luas
pada umumnya didorong untuk dapat lebih mengingat Sang Maha Pencipta yang
mengatur seluruh alam, dan isinya.

Singkatnya,
masyarakat dapat mengambil hikmah bahwa tidak selamanya manusia mengejar
duniawi semata. Tetapi, juga harus memperhatikan kehidupan setelahnya.

2. Tradisi Sadranan

Tradisi sadranan juga merupakan contoh kearifan lokal di Jawa Tengah. Mengutip dari laman resmi Institut Agama Islam Negeri Surakarta, masyarakat Jawa Tengah juga menyebut tradisi sadranan sebagai ruwuhan.

Diketahui,
tradisi sadranan ini dilakukan pada bulan Sya’ban yang dirayakan tiap menjelang
Ramadhan.

Pada
bulan Sya’ban, masyarakat kan mengirim doa kepada para leluhur yang telah
meninggal agar dosa-dosanya diampuni, diterima amal baiknya, dan mendapat di
sisi-Nya.

Dengan
begitu, tradisi sadranan dapat diartikan sebagai simbol hubungan dengan para
leluhur, sesama, dan sang Maha Kuasa.

Dalam
tradisi sadranan, terdapat percampuran dari budaya lokal dan nilai-nilai Islam.
Sadranan sebenarnya adalah tradisi Hindu-Budha yang tumbuh dan berkembang
semenjak sekitar abad 15.

Kemudian dalam perjalanannya, sadranan mengalami akulturasi dengan budaya Islam.

Nah, perubahan tradisi ini terlihat dari tradisi sadranan yang dulunya identik dengan dengan pemujaan roh, lalu diluruskan penataan tujuannya menjadi kepada yang Maha Esa oleh para ulama wali songo.

Tradisi sadranan dimulai dengan ritual membersihkan makam-makam leluhur, menyelenggarakan selamatan (kenduri) membuat kue apem, kolak, dan ketan.

Nah, ketiga makanan tersebut dijadikan adonan yang kemudian dimasukkan ke dalam takir.

Takir
ini merupakan tempat makanan yang terbuat
dari daun pisang, dimana sebelah kanan dan kirinya akan ditusuki lidi.

Nantinya,
kue-kue tersebut akan dibagikan kepada sanak saudara, dan menjadi pelengkap
kenduri (ubarampe). Kenduri akan diawali dengan melantunkan ayat-ayat
suci Al Qur’an dilanjutkan dengan shalawat.

Setelah
itu, masyarakat bersama-sama akan membaca tahlil untuk para leluhur, dan ahli
kubur. Biasanya, pembacaan tahlil dipimpin oleh ulama desa.

Pada jenis kearifan lokal tradisi sadranan ini, terdapat nilai-nilai sosial yang diwariskan. Mulai dari nilai gotong-royong, guyub, pengorbanan, hingga ekonomi.

3. Upacara Tingkeban

Mengutip dari laman resmi Perpustakaan Provinsi Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah, upacara tingkeban disebut juga dengan istilah mitoni. Nah, mitoni berasal dari kata ‘pitu’ yang berarti tujuh.

Maka
dari itu, upacara mitoni diselenggarakan setiap kandungan seorang ibu
sudah memasuki usia tujuh bulan.

Upacara mitoni sendiri memiliki makna bahwa pendidikan seorang anak tidak hanya dimulai ketika sang anak sudah beranjak dewasa.

Namun, dimulai ketika anak masih ada di dalam kandungan ibu pada usia ke-7 bulan.

Pendidikan
yang dimaksud adalah agar seorang ibu dapat menjaga kandungannya dengan melakukan
hal-hal baik, serta menjauhi hal-hal buruk.

Upacara
mitoni dijalankan dengan, memandikan air kembang kepada sang calon ibu yang
dibarengi dengan doa-doa sakral.

Nah,
doa tersebut bertujuan agar bayi yang sedang di dalam kandungan sang ibu dapat
lahir dengan selamat.

Sebagai
informasi tambahan, biasanya siraman dilakukan oleh para sesepuh atau orang
yang dituakan dengan jumlah tujuh orang.

4. Upacara Tedak Siten

Upacara
tedak siten juga dikenal dengan upacara turun tanah. Nah, salah satu
contoh kearifan lokal di Jawa Tengah ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur
dari orang tua terhadap kelahiran anaknya.

Biasanya,
upacara tedak siten diselenggarakan saat seorang anak sudah berusia 7 x
35 hari. Upacara ini dimaksudkan ingin memperkenalkan anak untuk pertama
kalinya turun ke bumi.

Upacara
tedak siten umumnya dilangsungkan pada pagi hari, sesuai hari dan
tanggal kelahiran anak.

Ada
beberapa perlengkapan yang tidak boleh dilupakan selama berjalannya upacara ini,
yaitu nasi tumpeng lengkap dengan sayur mayurnya, jenang boro-boro, dan beras
kuning.

Tidak hanya makanan saja, dalam upacara tedak siten juga sudah dilengkapi dengan barang-barang yang bermanfaat. Barang-barang tersebut misalnya saja seperti alat tulis, buku, dan sebagainya.

5. Mubeng Benteng

Di
Pulau Jawa khususnya Jawa Tengah tradisi Malam Satu Suro masih dilestarikan.
Salah satu bentuk pelestariannya adalah dengan melakukan tradisi mubeng
benteng
.

Tradisi
mubeng benteng adalah tradisi mengelilingi benteng keraton di Yogyakarta
yang merupakan simbol dari refleksi dan introspeksi diri.

Ketika
mengelilingi keraton, para peserta mubeng benteng tidak diperkenankan
mengeluarkan suara. Selain itu, peserta juga tidak diperbolehkan untuk makan
dan minum.

Kegiatan
mubeng benteng hingga kini masih diselenggarakan dan terbuka untuk umum,
jadi siapa saja bisa ikut.

6. Tradisi Dugderan

Tradisi
dugderan merupakan salah satu contoh kearifan lokal di Jawa Tengah
selanjutnya yang dilakukan setiap menjelang datangnya bulan suci Ramadan di
Kota Semarang.

Acara dugderan yang dilakukan masyarakat Semarang dan didukung pemerintah setempat selalu berlangsung meriah.

Tradisi dugderan sendiri merupakan cerminan dari perpaduan tiga etnis masyarakat Semarang, yaitu Jawa, Arab, dan Tionghoa.

Dugderan
sendiri berasal dari kata ‘dug’ yang
berarti bunyi bedug yang ditabuh, dan ‘der’ yang merupakan bunyi
tembakan meriam.

Pelaksanaan tradisi dugderan selalu dilakukan sehari menjelang Ramadan.

Ketika tradisi ini dimulai, Bedug Masjid Besar Kauman akan dipukul dan disusul dengan penyulutan meriam di halaman pendapa kabupaten di Kanjengan, Semarang.

Dalam
tradisi dugderan terdapat ikon yang berupa ‘Warak Ngendog
sebagai wujud hewan berkaki empat (kambing) dan kepala yang menyerupai naga.

Warak
Ngendhog
tersebut secara tidak langsung menjadi
perpaduan budaya Arab, Jawa, dan Tionghoa.

Tradisi dugderan diperkirakan telah berlangsung sejak 1881 sejak Semarang dipimpin oleh Bupati RMTA Purbaningrat.

Tujuan diselenggarakannya tradisi ini adalah penentuan awal puasa, karena adanya perbedaan pendapat penentuan awal puasa saat itu.

Prosesi dugderan ditandai dengan adanya pasar malam dugderan, ritual pengumuman awal puasa, dan kirab budaya Warak Ngendog.

Nah, rute kirab dimulai dari Balai Kota Semarang, Masjid Agung Kota Semarang, dan Masjid Agung Jawa Tengah.

7. Popokan

Popokan
merupakan salah satu tradisi di Desa Sendang, Kelurahan Sendang, Kecamatan
Bringin, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Merupakan
salah satu contoh kearifan lokal Jawa Tengah, tradisi popokan atau
perang lumpur merupakan wujud rasa syukur khususnya petani Desa Sendang kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang diperoleh.

Singkatnya,
tradisi ini bertujuan untuk memohon keberkahan dan keselamatan bagi masyarakat
setempat khususnya pada petani.

Prosesi
tradisi popokan umumnya terdiri dari bersih sendang, tumpengan, kirab
budaya, sedekah desa, dan popokan (perang lumpur).

Keberadaan
tradisi popokan ini erat kaitannya dengan mata pencaharian mayoritas masyarakat
Desa Sendang yang sebagian besar adalah pertanian, khususnya padi dan palawija.

8. Sesaji Rewanda

Sesaji
Rewanda berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu ‘sesaji’ yang berarti
persembahan yang berhubungan dengan agama, serta ‘rewanda’ yang berarti
kera.

Untuk
itu, Sesaji Rewanda dapat diartikan sebagai pemberian makanan sebagai
persembahan atau penghormatan kepada kera yang menghuni hutan di sekeliling Goa
Kreo di Kota Semarang.

Ritual
Sesaji Rewanda biasanya dilakukan pada 1 Syawal (hari ketiga hari raya
Idul Fitri). Nah, tradisi satu ini dilakukan oleh masyarakat Kandri, Kecamatan
Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Proses
tradisi Sesaji Rewanda dilakukan dengan arak-arakan mulai dari Kampung
Kandri ke Goa Kreo yang mengusung empat gunungan buah-buahan dan hasil bumi.

Dalam barisan arak-arakan tersebut terdapat empat orang dengan riasan kostum monyet berwarna merah, putih, kuning, dan hijau.

Barisan keduanya adalah replika batang kayu yang konon diambil oleh Sunan Kalijaga.

Oke, itulah deretan contoh kearifan lokal di Jawa Tengah lengkap dengan maknanya yang bisa Mamikos rangkumkan untuk kamu.

Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali kebudayaan.

Terdapat beragam tradisi dan upacara adat di setiap daerah yang tentunya setiap tradisi dan upacara adat memiliki makna serta tujuannya masing-masing.

Jika kamu ingin mengulik lebih banyak informasi seputar contoh kearifan lokal daerah lainnya, kamu bisa kunjungi situs blog Mamikos dan temukan informasinya di sana.


Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idamanmu:

Kost Dekat UGM Jogja

Kost Dekat UNPAD Jatinangor

Kost Dekat UNDIP Semarang

Kost Dekat UI Depok

Kost Dekat UB Malang

Kost Dekat Unnes Semarang

Kost Dekat UMY Jogja

Kost Dekat UNY Jogja

Kost Dekat UNS Solo

Kost Dekat ITB Bandung

Kost Dekat UMS Solo

Kost Dekat ITS Surabaya

Kost Dekat Unesa Surabaya

Kost Dekat UNAIR Surabaya

Kost Dekat UIN Jakarta