Masa Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal di Indonesia, Ciri-ciri, Kondisi Politik, dan Kabinet

Masa Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal di Indonesia, Ciri-ciri, Kondisi Politik, dan Kabinet – Selama perjalanan Indonesia sebagai bangsa dan negara, telah banyak dinamika yang dialami. Dinamika perjalanan Indonesia sebagai negara akan terus ada, dan di masa lalu, dinamika tersebut telah tercatat sebagai sejarah bangsa Indonesia.

Salah satu hal yang terbilang dinamis dalam perjalanan Indonesia adalah sistem pemerintahannya. Setidaknya, Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan bentuk sistem pemerintahan, dan salah satu sistem pemerintahan yang pernah diterapkan adalah sistem pemerintahan demokrasi liberal.

Berikut adalah ulasan masa sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia, ciri-ciri, kondisi, politik, dan kabinetnya.

Mengenal Masa Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal di Indonesia

elearning.smansadompu.com

Masa sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia berlangsung dari 1949 sampai dengan 1959.

Artinya, selama 10 tahun, para pendiri dan elit bangsa menerapkan masa sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia.

Demokrasi liberal adalah sebuah sistem pemerintahan yang pernah berlaku di Indonesia, dan disebut juga dengan masa pemerintahan demokrasi parlementer. 

Demokrasi liberal merupakan sistem perpolitikan yang memberi perlindungan terhadap kebebasan individu secara konstitusional.

Selain itu, demokrasi liberal juga bisa dipahami sebagai sistem pemerintahan yang memberi ruang pada kalangan sipil sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Ciri-ciri Masa Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal di Indonesia

Setiap pemberlakuan sistem pemerintahan pasti memiliki ciri khas tertentu yang menggambarkan sistem pemerintahan tersebut, termasuk sistem pemerintahan demokrasi liberal.

Untuk dapat mengenali secara mudah seperti apa sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia, kamu bisa meninjau beberapa ciri-cirinya, yang antara lain:

1. Terjadinya perubahan kabinet secara cepat
2. Banyak partai yang bermunculan, namun hanya dua yang mendominasi yakni PNI dan Masyumi
3. Setiap orang memiliki hak untuk berpolitik dan bersuara, terlepas dari asal, ras, etnis, maupun latar belakang agama mereka
4. Segenap orang dijamin kebebasannya dalam bersuara dan menyampaikan pendapat
5. Kedudukan seorang kepala negara, dalam hal ini Presiden, tidak bisa digoyahkan
6. Terdapat jabatan Perdana Menteri yang bertanggung jawab atas parlemen
7. Susunan dari setiap anggota kabinet beserta program yang  dijalankan ditentukan berdasarkan besaran jumlah suara di parlemen
8. Tidak ada ketentuan secara pasti mengenai durasi jabatan kabinet
9. Kabinet bisa dijatuhkan sewaktu-waktu oleh parlemen, dan pemerintah pun bisa membubarkan kabinet
10. Kekuatan politik tidak terpusat pada satu titik
11. Adanya praktik voting untuk menentukan keputusan politik dalam parlemen maupun pemerintahan.

Itulah beberapa ciri-ciri dari masa sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia yang penting untuk dipahami.

Kondisi Perpolitikan Demokrasi Liberal di Indonesia

Sistem pemerintahan demokrasi liberal atau demokrasi parlementer dijalankan dengan landasan UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia) 1950.

Masa dijalankannya sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia, secara garis besar bisa dikatakan Indonesia berada di masa yang penuh dengan tantangan.

Pada masa sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia, iklim perpolitikan berjalan dengan begitu dinamis, bahkan bisa dikatakan terlalu dinamis.

Sebab, setiap tahunnya terjadi perubahan kabinet, sehingga setiap kabinet yang digantikan belum sempat menjalankan seluruh programnya secara optimal akibat pergantian yang terlalu intens.

Tahun 1949 hingga 1959 adalah masa emas bagi partai-partai politik di Indonesia, sebab mereka punya kiprah signifikan dalam berjalannya perpolitikan dan pemerintahan mengingat diberlakukannya sistem multipartai.

Terdapat dua partai kuat yang mendominasi selama masa sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia, yaitu PNI dan Masyumi.

Namun, sistem multipartai tersebut, dengan dinamika pergantian kabinet yang cenderung cepat, membuat Indonesia di masa demokrasi liberal terbilang tidak stabil

Dominasi dua partai tersebut dibuktikan dengan silih bergantinya mereka dalam menjabat menjadi pejabat kabinet di pemerintahan Indonesia.

Adapun tokoh Pahlawan Nasional yang mempercayai demokrasi liberal adalah Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir.

Bahwa keberadaan parlemen yang mempunyai daya tawar terhadap kebijakan negara merupakan wujud nyata perpanjangan tangan kehendak rakyat yang nyata.

Di masa implementasi sistem pemerintahan demokrasi liberal tersebut juga prinsip Nasakom menjadi poros dari ideologi politik Indonesia yang diusung Presiden Soekarno, menimbang bahwa tiga kekuatan besar politik yang eksis, yakni Nasionalis, Agama, dan Komunis.

Kabinet Pemerintahan Demokrasi Liberal di Indonesia

Selama demokrasi liberal atau demokrasi parlementer diterapkan di Indonesia, terjadi setidaknya tujuh kali pergantian kabinet.

Sebagai catatan, kabinet atau para menteri di masa pemerintahan demokrasi liberal tidak hanya bertanggung jawab terhadap presiden dan parlemen.

Berikut adalah uraian dari tujuh kabinet yang pernah menjabat di masa sistem pemerintahan demokrasi liberal.

1. Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d  21 Maret 1951)

Kabinet pertama yang menjabat di masa implementasi demokrasi liberal atau demokrasi parlementer adalah Kabinet Natsir.

Kabinet Natsir adalah sebuah kabinet koalisi, dengan Masyumi sebagai pucuk pimpinannya.

PNI yang pada saat itu terpilih sebagai partai terbesar kedua memilih untuk bertindak sebagai oposisi dan secara tegas menolak bergabung dalam kabinet dengan alasan tidak mendapatkan kedudukan yang pantas.

Kabarnya, Kabinet Natsir banyak mendapat dukungan dari kalangan militer, serta para ahli dan orang-orang yang punya reputasi tinggi seperti Ir. Djuanda, Sri Sultan HB IX, dan juga Dr. Sumitro Djojohadikusumo.

Kabinet Natsir membawa lima program pokok yang menjadi inti pekerjaannya, yakni:

1. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
2. Konsolidasi dan menyempurnakan pemerintahan
3. Menyempurnakan organisasi angkatan perang
4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan
5. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Adapun pada saat Kabinet Natsir menjabat, terjadi beberapa gejolak besar di Indonesia, salah satunya adalah pemberontakan DI/TII, gerakan Andi Azis, gerakan APRA, dan gerakan RMS.

Upaya negosiasi dengan Irian Barat memang telah dirintis, akan tetapi hasilnya kosong.

Sebab banyaknya gejolak yang terjadi, muncul mosi tidak percaya terhadap Kabinet Natsir, hingga puncaknya Perdana Menteri Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden. 

2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 s.d 3 April 1952)

Pasca bubarnya Kabinet Natsir, sebenarnya terdapat fase transisi yang berlangsung selama 28 hari yakni dari 28 Maret s.d 18 April 1951 yang dijalankan oleh Sartono (Ketua PNI) dengan membentuk koalisi antara PNI dengan Masyumi, namun gagal.

Hingga kemudian Presiden Soekarno menunjuk Sukiman dari Masyumi dan Djojosukarto dari PNI sebagai formatur kabinet. Meski alot pembentukan awalnya, pada akhirnya Kabinet Sukiman berhasil dibentuk.

Kabinet Sukiman mengusung tujuh pasal program yang kurang lebih serupa dengan program dari Kabinet Natsir.

Sayangnya, usaha Kabinet Sukiman untuk merebut Irian Barat tidak berhasil. Selain itu, di masa Kabinet Sukiman, muncul bibit-bibit kebobrokan pejabat seperti korupsi dan gaya hidup mewah, sehingga membuat posisi Kabinet Sukiman tidak bertahan lama.

3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 s.d 3 Juni 1953) 

Kabinet Wilopo, yang menjabat dari 3 April 1952 hingga 3 Juni 1953, merupakan salah satu kabinet dalam periode Demokrasi Liberal di Indonesia. 

Perdana Menteri yang ditunjuk adalah Wilopo, seorang tokoh dari Partai Nasional Indonesia (PNI). 

Kabinet Wilopo merupakan koalisi dari partai-partai besar seperti PNI, Masyumi, dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Kabinet Wilopo berupaya menjalankan beberapa program penting, di antaranya memperbaiki kondisi ekonomi yang kacau akibat inflasi, serta melanjutkan negosiasi pembatalan persetujuan ekonomi dengan Belanda yang masih mendominasi ekonomi Indonesia pasca pengakuan kedaulatan. 

Kabinet Wilopo juga memprioritaskan penyelesaian masalah tanah dan konflik agraria, serta memperjuangkan otonomi daerah dan perbaikan sistem pendidikan.

Namun, ada banyak tantangan yang dihadapi Kabinet Wilopo, terutama dari segi stabilitas politik. 

Salah satu kegagalan utamanya adalah tidak mampu menyelesaikan konflik agraria di berbagai wilayah, terutama di Jawa Timur, yang memicu insiden kekerasan. 

Selain itu, konflik internal di dalam koalisi juga memperlemah posisi kabinet Wilopo, terutama perbedaan pandangan antara PNI dan Masyumi. 

Krisis tersebut menyebabkan mosi tidak percaya dari parlemen, yang pada akhirnya membuat Kabinet Wilopo jatuh pada 3 Juni 1953.

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 s.d 12 Agustus 1955)

Kabinet Ali Sastroamidjojo I didukung oleh koalisi PNI dan Masyumi serta beberapa partai kecil lainnya, dengan misi memajukan ekonomi dan memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional.

Program-program utama kabinet Ali Sastroamidjojo meliputi nasionalisasi ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta usaha memperbaiki kesejahteraan rakyat. 

Salah satu program unggulannya adalah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, yang menjadi tonggak penting dalam diplomasi Indonesia dan peran negara-negara berkembang di dunia internasional. 

Konferensi ini memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok.

Namun, kabinet ini juga menghadapi berbagai masalah. Salah satunya adalah ketidakmampuan mengatasi masalah ekonomi dalam negeri, terutama terkait inflasi yang tinggi dan masalah keuangan negara. 

Selain itu, kabinet ini gagal menyelesaikan konflik internal di dalam koalisi pemerintahan, terutama antara PNI dan Masyumi, yang berbeda pandangan mengenai kebijakan ekonomi dan agama. Ketegangan politik ini memicu ketidakstabilan pemerintahan.

Kegagalan terbesar Kabinet Ali Sastroamidjojo I adalah ketidakmampuannya memperbaiki situasi ekonomi dan mengatasi perpecahan politik, yang menyebabkan runtuhnya kabinet ini pada Agustus 1955. 

Meskipun demikian, peran penting kabinet ini dalam diplomasi internasional melalui Konferensi Asia Afrika tetap menjadi pencapaian yang diakui.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 s.d 3 Maret 1956)

Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956) merupakan salah satu kabinet pada era Demokrasi Liberal di Indonesia, dengan Burhanuddin Harahap sebagai Perdana Menteri. 

Kabinet Burhanuddin Harahap dibentuk setelah jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo I, dan Burhanuddin merupakan tokoh dari Partai Masyumi yang memimpin kabinet koalisi multipartai.

Kabinet Burhanuddin Harahap memiliki beberapa program penting, terutama berfokus pada stabilitas politik dan ekonomi pasca-perang kemerdekaan. 

Salah satu pencapaiannya adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum pertama di Indonesia pada tahun 1955, yang dianggap sukses. 

Pemilu tersebut menjadi langkah penting dalam upaya membangun sistem demokrasi parlementer yang stabil. 

Selain itu, kabinet Burhanuddin Harahap juga berusaha memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Belanda terkait masalah sengketa Irian Barat. 

Upaya diplomasi dengan Belanda menjadi salah satu fokus penting, meskipun belum membuahkan hasil signifikan pada masa kabinet ini.

Namun, kabinet ini juga menghadapi beberapa kegagalan. Salah satunya adalah ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah ekonomi yang semakin memburuk, termasuk inflasi yang tinggi dan kurangnya kesejahteraan masyarakat. 

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 s.d 14 Maret 1957)

Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957) merupakan kabinet koalisi di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari Partai Nasional Indonesia (PNI). 

Ada beberapa tokoh penting yang membidangi Kabinet Ali Sastroamidjojo, di antaranya Muhammad Yamin, Idham Chalid, Djuanda Kartawidjaja, dan Iwa Kusumasumantri.

Program-program utama kabinet ini berfokus pada pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Salah satu agenda terbesarnya adalah melanjutkan rencana pembangunan lima tahun (1956–1961) yang dirancang untuk mempercepat industrialisasi dan memperkuat sektor agraria. 

Kabinet Ali Sastroamidjojo IIi juga berupaya memulihkan kedaulatan Indonesia atas Irian Barat, yang masih berada di bawah kendali Belanda, melalui jalur diplomasi. 

Upaya nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia juga dijalankan sebagai bagian dari peningkatan kontrol ekonomi domestik.

Meskipun memiliki berbagai program ambisius, Kabinet Ali Sastroamidjojo II mengalami banyak kegagalan. 

Masalah utama adalah ketidakstabilan politik akibat pertentangan antara partai-partai dalam koalisi. 

Ketidakmampuan kabinet ini dalam menangani pemberontakan daerah, seperti di Sumatra dan Sulawesi, juga memperburuk situasi. 

Selain itu, ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan ekonomi yang dinilai tidak efektif menyebabkan meningkatnya krisis ekonomi. 

Krisis politik dan ekonomi ini akhirnya memaksa Ali Sastroamidjojo untuk mengundurkan diri pada Maret 1957, sehingga kabinetnya dibubarkan.

7. Kabinet Karya (9 April 1957 s.d 10 Juli 1959)

Kabinet Karya adalah kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja, berlangsung dari 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959.

Kabinet Karya juga dikenal sebagai  Zaken Kabinet, sebuah kabinet dengan upaya terakhir di era demokrasi parlementer sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri sistem parlementer dan memulai Demokrasi Terpimpin.

Tokoh utama Kabinet Karya adalah Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana Menteri, didukung oleh beberapa menteri penting seperti Soenarjo Kolopaking sebagai Menteri Dalam Negeri dan Prof. Dr. Soepomo sebagai Menteri Kehakiman. 

Ir. Djuanda adalah seorang teknokrat yang dihormati karena netralitas politiknya, sehingga diharapkan dapat meredam ketidakstabilan politik yang saat itu marak.

Program utama kabinet ini dikenal dengan nama “Program Karya,” yang fokus pada stabilisasi ekonomi dan keamanan. 

Salah satu inisiatif penting adalah “Deklarasi Djuanda” (1957), yang menetapkan konsep negara kepulauan bagi Indonesia, memperluas wilayah laut Indonesia, dan memperkuat kedaulatan maritim. 

Selain itu, kabinet berusaha mengatasi ancaman gerakan separatis di berbagai daerah, seperti PRRI/Permesta.

Namun, Kabinet Karya mengalami kegagalan dalam mencapai stabilitas politik dan ekonomi yang diinginkan. 

Meningkatnya konflik politik antara partai-partai dan adanya tekanan dari militer serta gerakan separatis melemahkan kabinet. Krisis ekonomi, dengan inflasi tinggi dan defisit anggaran, juga memperburuk situasi. 

Akhirnya, kegagalan kabinet ini menandai runtuhnya sistem Demokrasi Liberal di Indonesia, yang diakhiri dengan Dekrit Presiden Soekarno pada 1959.

Demikian pembahasan mengenai masa sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia, ciri-ciri, kondisi, dan kabinet. Semoga bermanfaat.

FAQ

Bagaimana kondisi sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia?

Pada masa sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia, iklim perpolitikan berjalan dengan begitu dinamis, bahkan bisa dikatakan terlalu dinamis. Sebab, setiap tahunnya terjadi perubahan kabinet, sehingga setiap kabinet yang digantikan belum sempat menjalankan seluruh programnya secara optimal akibat pergantian yang terlalu intens. Tahun 1949 hingga 1959 adalah masa emas bagi partai-partai politik di Indonesia, sebab mereka punya kiprah signifikan dalam berjalannya perpolitikan dan pemerintahan mengingat diberlakukannya sistem multipartai.

Apa maksudnya demokrasi liberal di Indonesia?

Demokrasi liberal adalah sebuah sistem pemerintahan yang pernah berlaku di Indonesia, dan disebut juga dengan masa pemerintahan demokrasi parlementer. Demokrasi liberal merupakan sistem perpolitikan yang memberi perlindungan terhadap kebebasan individu secara konstitusional.

Mengapa pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia tidak stabil?

Namun, sistem multipartai tersebut, dengan dinamika pergantian kabinet yang cenderung cepat, membuat Indonesia di masa demokrasi liberal terbilang tidak stabil

Bagaimana pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada 1949 – 1959?

Masa sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia berlangsung dari 1949 sampai dengan 1959. Artinya, selama 10 tahun, para pendiri dan elit bangsa menerapkan masa sistem pemerintahan demokrasi liberal di Indonesia.

Apa dasar hukumnya demokrasi liberal di Indonesia?

Sistem pemerintahan demokrasi liberal atau demokrasi parlementer dijalankan dengan landasan UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia) 1950.


Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idamanmu:

Kost Dekat UGM Jogja

Kost Dekat UNPAD Jatinangor

Kost Dekat UNDIP Semarang

Kost Dekat UI Depok

Kost Dekat UB Malang

Kost Dekat Unnes Semarang

Kost Dekat UMY Jogja

Kost Dekat UNY Jogja

Kost Dekat UNS Solo

Kost Dekat ITB Bandung

Kost Dekat UMS Solo

Kost Dekat ITS Surabaya

Kost Dekat Unesa Surabaya

Kost Dekat UNAIR Surabaya

Kost Dekat UIN Jakarta