Malam Nuzulul Qur’an, Pengertian, Sejarah Singkat dan Keutamaannya
Umat Muslim di seluruh dunia akan memperingati Nuzulul Quran setiap tanggal 17 bulan Ramadhan. Namun, bagaimanakah sejarah sebenarnya dari peristiwa Nuzulul Qur’an ini?
Malam Nuzulul Qur’an, Pengertian, Sejarah Singkat dan Keutamaannya – Umat Muslim di seluruh dunia akan memperingati Nuzulul Quran setiap tanggal 17 bulan Ramadhan. Namun bagaimanakah sejarah sebenarnya dari peristiwa Nuzulul Qur’an ini?
Di Indonesia sendiri, setiap 17 bulan Ramadhan, akan dilakukan ceramah atau pengajian khusus bertemakan Nuzulul Qur’an.
Untuk memperingati malam Nuzulul Qur’an bisa dilakukan dengan membaca doa, membaca Al-Qur’an, memperbanyak dzikir dan istighfar, mengerjakan salat sunah malam, dan beribadah lainnya.
Malam Nuzulul Qur’an, Pengertian, Sejarah Singkat dan Keutamaannya
Daftar Isi [hide]

Tenang saja. Semuanya akan Mamikos bahas mulai dari pengertian, sejarah singkat hingga keutamaan dari malam Nuzulul Qur’an ini.
Jadi, mari langsung saja meluncur pada pembahasan malam Nuzulul Qur’an, pengertian, sejarah singkat dan keutamaannya sebagai berikut.
Pengertian Nuzulul Qur’an
Nuzulul Qur’an adalah turunnya Al-Quran pertama kali yaitu tanggal 17 bulan Ramadhan kepada Nabi Muhammad SAW.
Al-Quran tersebut diturunkan melalui Malaikat Jibril, dengan wahyu pertama surat Al-Alaq ayat 1-5.
Ketika wahyu ini diturunkan pada Nabi Muhammad, beliau sedang berada di Gua Hira. Saat itu tiba-tiba Malaikat Jibril datang kepadanya dan menyampaikan wahyu tersebut.
Nabi Muhammad saat itu hanya seorang diri dan langsung ketakutan. Tubuhnya bahkan sampai menggigil.
Kemudian Nabi Muhammad SAW pulang dan menceritakan pengalaman yang dialaminya kepada isterinya, Khadijah. Sejak peristiwa itu Nabi pun mendapatkan gelar kerasulannya.
Rasul adalah seorang nabi yang mendapatkan wahyu untuk disebarluaskan kepada umat manusia.
Sejarah Nuzulul Qur’an

Advertisement
Perlu kamu tahu bahwa pada awal datangnya, Al-Quran tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad sekaligus satu kitab full seperti yang kita kenali kini.
Namun, secara bertahap dan menurut tuntutan peristiwa yang melatarinya. Lama waktu Al-Qur’an hingga menjadi utuh ini adalah 22 tahun 2 bulan dan 22 hari.
Al-Quran selesai diturunkan menjelang kewafatan Nabi Muhammad SAW pada 9 Dzulhijjah tahun 10 H yang bertepatan dengan tanggal 27 Oktober 632 M, dengan turunnya ayat yang terakhir yakni surah Al-Maidah ayat 3.
Pada suatu malam yang tenang, angin mengalir lembut dan langit bermandikan cahaya, Nabi Muhammad masih berada di dalam gua Hira.
Ia sudah beberapa hari tinggal di situ untuk “tahannuts“, “khalwah“ atau berkomtemplasi.
Kontemplasi adalah sebuah ritual permenungan yang intens. Al-Ghazali juga menyebutnya sebagai proses atau momen menyerap aspirasi dari langit.
Manakala kemudian keluar dari gua tersebut, tiba-tiba Jibril menampakkan diri di hadapan Nabi, dan mengatakan, “Selamat atas Anda, Muhammad.
Aku Jibril pembawa “Suara Tuhan”. Anda adalah Rasulullah, utusan Allah kepada umat ini”.
Jibril kemudian merengkuh tubuh Nabi sambil berkata, “Bacalah!”
Sementara Muhammad SAW mulai ketakutan hingga gemetar kemudian menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”
“Bacalah!” ulang Jibril seraya tidak melepaskan Muhammad.
Muhammad masih mengulangi jawaban yang sama. Jibril lalu menarik dan mendekapnya sampai menyulitkan Nabi untuk bernapas.
Setelah dilepaskan, Jibril mengulangi lagi perintahnya dan masih dijawab dengan jawaban yang sama. Pada yang keempat kalinya Muhammad SAW kemudian mengucapkan kalimat suci ini:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ. خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. إِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُ الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan (perantara) pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al ‘Alaq, 1-5).
Begitu selesai Muhammad mengikuti Jibril membaca 5 ayat Iqra (al-Qalam) tersebut, Jibril kemudian menghilang entah ke mana. Muhammad masih bergeming dan merasa ketakutan.
Tubuhnya menggigil hebat. Keringat dingin mengalir deras dari pori-pori tubuhnya dan pacu jantungnya seakan berlarian.
Kemudian Muhammad pun bergegas pulang menemui Khadijah, isterinya, dengan hati yang diliputi rasa galau, cemas dan ketakutan.
Begitu sampai di rumah, ia masuk kamar dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Katanya, “Selimuti aku, selimuti aku sekarang.”
Khadijah pun segera menyelimuti seluruh tubuh Muhammad rapat-rapat.
Setelah rasa takutnya mereda, beliau menceritakan peristiwa yang dialaminya dan mengatakan, “Aku takut diriku. Aku khawatir sekali tadi.”
Khadijah kemudian mengatakan dengan lembut untuk membesarkan hati suaminya:
كَلّا. أَبْشِرْ فَوَ اللهِ لَا يُخْزِيكَ اللهُ اَبَداً, وَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِى الضَّيْفَ, وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Tidak, sayangku. Demi Allah, Dia tidak akan pernah merendahkanmu. Engkaulah orang yang akan mempersatukan dan mempersaudarakan umat manusia, memikul beban penderitaan orang lain, bekerja untuk mereka yang papa, menjamu tamu dan menolong orang-orang yang menderita demi kebenaran.”
Khadijah kemudian menghubungi putra pamannya, Waraqah bin Naufal. Ia adalah pengikut sekaligus seorang pendeta Nasrani dan penafsir Bible: Kitab Taurat dan Injil.
Ia juga memahami bahasa Ibrani dengan fasih. Kepada sepupunya ini, Khadijah mengatakan, “Tolong dengarkan apa yang disampaikan sepupumu.” Lalu Nabi SAW mulai menceritakan apa yang dilihat dan dialaminya bersama Jibril dalam gua Hira.