3 Contoh Cerpen Percintaan Singkat yang Seru untuk Dibaca, Awas Baper!

3 Contoh Cerpen Percintaan Singkat yang Seru untuk Dibaca, Awas Baper! – Cerpen atau cerita pendek adalah sebuah sajian cerita yang hanya mengangkat satu konflik saja.

Meskipun pendek, cerpen tetap mampu menyajikan kisah yang padat dan menarik, termasuk tema yang paling digemari, yaitu percintaan.

Nah, di artikel ini Mamikos akan memberikan beberapa contoh cerpen percintaan singkat yang menarik dan seru untuk dibaca. Namun sebelum itu, yuk kita pelajari terlebih dahulu tentang unsur intrinsik cerpen!

Unsur Intrinsik Cerpen

Canva/@fpwing

Unsur intrinsik cerpen dapat diartikan sebagai elemen-elemen yang membentuk cerita dari dalam. Unsur-unsur tersebut saling terkait untuk menciptakan cerita yang utuh dan menarik untuk dibaca maupun didengar. Apa saja unsur intrinsik cerpen? Berikut penjelasan unsur intrinsik cerpen:

1. Tema 

Ide utama atau gagasan pokok dari cerpen disebut dengan tema. Tema bisa juga dianggap sebagai pesan atau makna yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Misalnya, tema tentang persahabatan, perjuangan hidup, atau cerpen percintan.

2. Tokoh dan Penokohan 

Tentunya sebuah cerpen memerlukan tokoh atau karakter yang ada dalam cerita, sementara penokohan adalah cara pengarang menggambarkan karakter tersebut, baik dari segi fisik, sifat, maupun sikapnya.

Karakter yang dimaksud seperti protagonis atau biasanya tokoh utama dan antagonis, tokoh yang menentang protagonis.

3. Alur (Plot

Alur adalah rangkaian peristiwa dalam cerita. Alur biasanya terdiri dari pengenalan, konflik, klimaks, dan penyelesaian. Alur di dalam cerpen yang membuat cerita berjalan dari awal hingga akhir.

4. Latar (Setting

Latar dalam cerpen dapat mencakup tempat, waktu, dan suasana yang menjadi latar belakang cerita. Latar tersebut membantu pembaca membayangkan dunia dalam cerita, apakah itu terjadi di desa, kota besar, siang, malam, atau bahkan di masa depan.

5. Sudut Pandang (Point of View

Sudut pandang adalah dari mana cerita diceritakan. Bisa dari sudut pandang orang pertama (“aku”) di mana narator terlibat langsung dalam cerita, atau orang ketiga (“dia”) di mana narator hanya mengamati jalannya peristiwa.

6. Amanat 

Unsur intrinsik cerpen selanjutnya adalah amanat. Amanat adalah pesan moral atau pelajaran yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui cerita. Biasanya tersirat dan pembaca harus menafsirkannya dari keseluruhan cerita.

7. Gaya Bahasa 

Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan cerita melalui pilihan kata, kalimat, atau ungkapan. Gaya bahasa bisa puitis, lugas, atau mengandung kiasan, tergantung bagaimana suasana yang ingin dibangun.

Contoh Cerpen Percintaan Singkat

Setelah kita mempelajari unsur intrinsik cerpen di bagian sebelumnya, kini Mamikos akan memberikan contoh cerpen percintaan singkat untuk kamu.

Nanti ketika kamu sudah membaca cerpen percintaan di bawah ini, cobalah untuk membuat unsur intrinsiknya sendiri, ya!

1. Cinta Monyet yang Semakin Besar

“Dikaaa! Tungguin!” teriak Fanny sambil terengah-engah mengejar Dika yang berjalan cepat di depan.

Dika berhenti dan menoleh, senyum jahil terukir di wajahnya. “Dari dulu kamu tuh selalu lambat, Fan. Kalau kita balapan sepeda, kamu pasti kalah terus!”

Fanny mendengus pelan, mengepalkan tangan di pinggangnya. “Kita udah bukan anak sepuluh tahun lagi, Dik. Dan aku nggak lambat, kamu aja yang jalan kayak dikejar-kejar utang!”

Dika tertawa keras mendengar celaan itu lalu menunggu sampai Fanny mendekat. “Kamu tuh nggak pernah berubah ya, masih ceriwis aja. Sejak kita SD sampai sekarang ngomelnya nggak habis-habis.”

Fanny menyipitkan mata pura-pura marah. “Kalau aku ceriwis, kamu sombongnya nggak luntur! Ingat nggak dulu pas kamu nolak bantuin aku ngerjain PR Matematika?”

Dika nyengir lebar. “Ya gimana, kamu aja nggak pernah belajar! Aku kan cuma ngajarin kamu buat mandiri.”

“Mandiri apanya? Ujung-ujungnya kamu juga yang nyontek PR Bahasa Indonesia punyaku!”

Mereka berdua tertawa bersama mengingat kenangan masa kecil yang menghangatkan sore itu. Meski sudah bertahun-tahun berlalu sejak mereka lulus SMP, hubungan mereka tetap seperti dulu—selalu ribut, tapi tak pernah saling jauh.

“Eh, ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba ngajak ketemuan? Udah jarang banget kita ngopi bareng,” tanya Fanny sambil menyesap es kopi yang baru diantarkan oleh pelayan.

Dika menggaruk-garuk kepalanya, terlihat sedikit gugup. “Iya… Sebenarnya aku mau ngomong sesuatu. Tapi jangan ketawa ya.”

Fanny mengangkat alis. “Wah, serius banget nih? Jangan-jangan mau pinjam uang?”

“Yah, nggak lah! Aku serius ini, Fan.”

Fanny mendekatkan wajahnya, penasaran. “Apa? Cerita aja, Dik. Kita udah sahabatan sejak kecil, apaan sih yang nggak bisa kamu bilang ke aku?”

Dika menarik napas panjang, lalu menghela pelan. “Aku… sebenernya suka sama kamu.”

Fanny terdiam sejenak, lalu meletus tertawa keras. “Ya ampun, Dika! Kamu lucu banget! Dari dulu udah suka ngeledek aku. Kena deh aku!”

Dika menatapnya sedikit frustasi. “Aku serius, Fan. Ini bukan bercandaan.”

Tawa Fanny tiba-tiba berhenti, dia menatap Dika dengan bingung. “Tunggu… Kamu serius?”

Dika mengangguk dengan wajah memerah. “Iya, aku serius. Aku udah suka sama kamu sejak kita SMP. Tapi waktu itu kita masih kecil, dan aku pikir itu cuma perasaan sesaat. Tapi, sampai sekarang nggak hilang.”

Fanny tersandar ke kursinya, terkejut mendengar pengakuan itu. “Kamu… suka sama aku? Dari dulu?”

Dika tersenyum kecut. “Iya, cuma aku nggak pernah punya keberanian buat bilang.”

Fanny masih terdiam berusaha mencerna. “Tapi… tapi kenapa kamu nggak bilang dari dulu?”

“Aku takut, Fan. Takut kalau aku bilang, kita jadi canggung, terus persahabatan kita hancur. Aku lebih baik jadi sahabat kamu daripada kehilangan kamu sama sekali.”

Fanny menggelengkan kepalanya masih terkejut. “Dika, kamu bodoh banget.”

Dika tersentak. “Hah? Bodoh?”

Fanny mendesah. “Iya, bodoh. Kamu tahu nggak, aku juga nunggu kamu bilang sesuatu dari dulu? Aku suka sama kamu, tapi karena kamu nggak pernah ngomong, aku kira kamu nggak ngerasain hal yang sama.”

Dika ternganga. “Serius? Kamu suka sama aku juga?”

Fanny tertawa kecil, sedikit malu. “Iya, Dika. Dari dulu. Tapi aku juga nggak berani ngomong karena nggak mau merusak apa yang kita punya.”

Mereka saling menatap dalam keheningan yang penuh arti. Dika akhirnya tertawa kecil. “Jadi, selama ini kita berdua saling suka tapi sama-sama nggak berani ngomong?”

Fanny ikut tertawa. “Ternyata kita sama-sama payah ya.”

“Parah sih. Udah kayak sinetron, tapi tanpa dramanya,” ujar Dika sambil menggelengkan kepala, wajahnya lega. “Jadi… gimana sekarang?”

Fanny mengangkat cangkirnya dan tersenyum manis. “Sekarang, kita mulai dari kopi ini dulu. Tapi kali ini, bukan sebagai sahabat.”

Dika tersenyum lebar, lalu mengangkat cangkirnya, menyentuh cangkir Fanny dengan bunyi ting yang lembut. “Oke, deal. Tapi kalau kita berantem, aku masih boleh pinjam PR-mu kan?”

Fanny tertawa keras. “Kamu nggak pernah berubah ya! Kalau kita berantem, aku kasih kamu PR dua kali lipat!”

2. Perpisahan di Ujung Senja

Di ujung jalan kecil yang mengarah ke pantai, aku duduk di bangku usang yang sudah terlalu sering jadi tempat pelarianku. Senja, seperti biasa, menggantung di cakrawala, langit oranye keemasan mengisi hari yang perlahan tenggelam.

Aku merenung, menatap laut yang seolah tak pernah berubah, meskipun segalanya di hidupku terus bergerak, bahkan kadang tanpa arah.

Entah apa yang aku tunggu. Atau mungkin aku hanya tak ingin pergi. Di sini, di tempat ini, aku bisa merasa sedikit lebih damai. Namun damai yang aneh—seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.

Lalu, langkah kaki kecil terdengar dari belakangku. Aku tahu siapa itu bahkan sebelum aku menoleh. Agni. Senyuman kecil terbit di wajahku saat melihat sosoknya. Sudah lama sekali. Terlalu lama. “Agni,” sapaku pelan.

Tanpa sepatah kata, dia duduk di sebelahku, ikut memandang senja yang hampir hilang. Sudah dua tahun sejak kami terakhir bertemu di tempat ini.

Dua tahun sejak kami memutuskan untuk berpisah. Bukan karena cinta itu hilang, tapi karena dunia – entah bagaimana, seolah tak pernah memberi restu bagi kami.

“Aku pikir kamu nggak akan pernah datang lagi ke sini,” kataku akhirnya, memecah keheningan yang entah terasa hangat atau dingin.

Agni menghela napas panjang dan jawaban yang keluar dari bibirnya membuat hatiku sedikit ngilu. “Aku selalu datang, cuma saja kamu nggak pernah sadar.”

Aku menatap laut, merasa kecil dan bodoh. “Aku sadar. Aku cuma terlalu takut untuk berharap lagi.”

Dia menoleh menatapku. “Kita berdua terlalu takut, Bumi.” Suaranya lembut, tapi ada kegetiran di sana. “Dulu, kita terlalu sibuk memikirkan apa yang akan terjadi. Terlalu banyak ketakutan sampai kita lupa menikmati apa yang kita punya.”

Langit mulai kehilangan sinarnya, senja perlahan memudar menjadi kegelapan. Aku dan Agni duduk dalam diam. Namun kali ini, heningnya terasa lebih hangat. Lebih damai.

“Jadi, kenapa kamu kembali sekarang?” tanyaku, tanpa menatapnya langsung. Ada rasa takut di hatiku yang aku sendiri tak tahu dari mana datangnya.

Agni tersenyum kecil. Senyum yang membuat jantungku selalu berdebar, meski kini terasa lebih lembut. “Mungkin aku cuma ingin mengucapkan selamat tinggal dengan cara yang benar.”

Deg. Jantungku seperti terhimpit. “Selamat tinggal?”

Dia menatapku, kali ini dengan mata yang tenang, seolah telah menerima apa pun yang akan datang. “Aku akan pindah ke luar negeri minggu depan, Bumi. Mungkin ini terakhir kali kita bisa bertemu di tempat ini.”

Aku terdiam. Ada ribuan hal yang ingin aku katakan, tapi entah kenapa semuanya tersangkut di tenggorokan. Akhirnya, hanya satu kalimat yang keluar. “Aku masih mencintaimu, Agni.”

Agni menunduk, menggenggam jemariku erat. “Aku juga, Bumi. Tapi kadang, cinta saja nggak cukup.

Angin laut berembus lembut membawa pergi sedikit kehangatan yang ada. Agni perlahan berdiri, lalu melangkah pergi. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, dan dengan itu, semua harapanku ikut pergi bersamanya.

Senja pun hilang dan aku menyadari satu hal yang selama ini tak pernah benar-benar aku mengerti—cinta tak selalu tentang memiliki. Kadang, cinta juga berarti melepaskan demi kebahagiaan orang yang kau sayangi.

Di malam itu, aku biarkan Agni pergi bersama seluruh cinta yang masih aku simpan.

3. Lamaran Manis yang Sederhana

Malam itu Daisy dan Rakka duduk di warung mie langganan mereka. Bukan restoran mewah, hanya warung tenda di pinggir jalan dengan lampu temaram dan suara kendaraan berlalu lalang. Namun entah kenapa, tempat ini selalu terasa nyaman bagi mereka.

“Pesen yang biasa ya?” tanya Rakka sambil membuka tutup botol teh yang baru saja disajikan.

Daisy mengangguk. “Iya, yang level pedas tiga aja. Udah kapok coba yang lebih pedes.”

Rakka tersenyum kecil sambil mengaduk minumannya. Mereka duduk berseberangan, tidak banyak bicara, hanya menikmati malam sambil menunggu pesanan datang.

Suasana di antara mereka selalu seperti itu—santai, tanpa banyak basa-basi. Mereka sudah bersama hampir lima tahun dan percakapan yang berlebihan sudah bukan lagi hal yang wajib.

Tiba-tiba di tengah-tengah keheningan Rakka berkata, “Sayang, kamu pernah kepikiran nggak, kalau kita nikah aja?”

Daisy yang sedang menyeruput tehnya hampir tersedak. Ia meletakkan gelasnya perlahan, menatap Rakka dengan alis terangkat. “Apa tadi? Nikah?”

Rakka mengangguk ringan, seolah ia baru saja mengusulkan hal sederhana seperti, “Besok makan di mana?”

“Iya, nikah. Udah lama juga kan kita bareng. Gimana kalau kita bikin resmi?”

Daisy terdiam sejenak kemudian memandang Rakka. “Kamu serius, Rak?”

Rakka mengangkat bahu sambil mengaduk kuah mie yang baru saja disajikan. “Iya, serius. Tapi kalau kamu belum siap, nggak apa-apa kok. Aku nggak maksa.”

Daisy tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Lamaran macam apa ini, Rak? Nggak ada cincin, nggak ada bunga, di warung lagi, nggak ada romantis-romantisnya.”

Rakka ikut tertawa, lalu meraih tangan Daisy yang tergeletak di meja. “Iya, maaf nggak seromantis di film-film. Tapi aku nggak butuh bunga atau lilin-lilin. Aku cuma butuh kamu.”

Daisy menatap tangan Rakka yang menggenggam tangannya, terasa hangat dan tulus. “Jadi, nikah ya?”

“Ya, nikah,” jawab Rakka dengan tenang. “Nggak usah ribet. Kayak hidup kita selama ini aja. Sederhana tapi nyaman.”

Daisy tersenyum. “Oke, Rak. Aku mau.”

Rakka tersenyum lega, lalu mereka berdua kembali melanjutkan makan, seperti tak ada yang berubah. Hanya saja, sekarang mereka tahu bahwa di balik kesederhanaan itu, ada janji besar yang telah terucap.

Penutup

Sampai juga kita di penghujung artikel kali ini. Semoga tiga cerpen percintaan yang Mamikos berikan tadi dapat memberikan hiburan maupun inspirasi untukmu membuat cerpen sendiri, ya.

Oh, ya, selain cerpen percintaan, Mamikos juga masih memiliki banyak contoh cerpen berbagai tema di artikel-artikel lainnya, lho!


Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idamanmu:

Kost Dekat UGM Jogja

Kost Dekat UNPAD Jatinangor

Kost Dekat UNDIP Semarang

Kost Dekat UI Depok

Kost Dekat UB Malang

Kost Dekat Unnes Semarang

Kost Dekat UMY Jogja

Kost Dekat UNY Jogja

Kost Dekat UNS Solo

Kost Dekat ITB Bandung

Kost Dekat UMS Solo

Kost Dekat ITS Surabaya

Kost Dekat Unesa Surabaya

Kost Dekat UNAIR Surabaya

Kost Dekat UIN Jakarta